RadarCyberNusantara.Id | Tanah sengketa adalah objek yang seringkali menjadi permasalahan di Indonesia, tak terkecuali yang sering terjadi di Provinsi Lampung. Sengketa tanah ini biasanya melibatkan beberapa pihak kerap diperebutkan.
Tanah sengketa adalah tanah yang kepemilikannya diperebutkan oleh dua pihak dan di mana mereka saling memperebutkan untuk mendapatkan hak milik atau hak penggunaan atas tanah tersebut. Sengketa tanah merupakan kasus yang dapat dikatakan sering terjadi di Indonesia.
Mengapa permasalahan lahan atau sengketa tanah bisa terjadi? Permasalahan lahan atau agraria di Indonesia umumnya menghadapkan masyarakat setempat dengan kekuatan modal (corporate) dan atau instrumen negara. Permasalahan lahan umumnya bermula dari kebijakan monopoli kepemilikan lahan oleh negara. Selanjutnya negara mengkomersialisasikan lahan tersebut untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini yang seringnya sulit untuk diatasi.
Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN) menunjukkan jika sudah melakukan penanganan banyak sekali terkait dengan kasus pertanahan. Kasus tanah sengketa tersebut diindikasi adanya tangan mafia tanah di dalamnya. Contohnya adalah kasus tentang pemalsuan dokumen, perubahan batas tanah secara ilegal dan jenis-jenis masalah lainnya.
Dasar hukum sengketa tanah tertuang pada Pasal 1 Permen ATR/ Kepala BPN nomor 21/2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, menyebutkan perebutan sertifikat dibagi menjadi dua yakni sengketa pertanahan dan konflik pertanahan. Keduanya dibedakan dari jumlah orang yang terlibat dan dampaknya.
Dasar hukum lainnya tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Indonesia No. 3 tahun 2011. Dimana pertarungan tersebut menjelaskan sengketa tanah atau sengketa adalah perselisihan tanah yang melibatkan badan hukum, lembaga atau perseorangan dan secara sosio-politis tidak memiliki dampak luas.
Penyebab Sengketa Tanah
Terdapat banyak sebab dari adanya permasalahan sengketa tanah. permasalahan ini umumnya rumit dan kompleks. Kita harus mengetahuinya secara detail agar tidak terjebak pada sengketa tanah.
Lantas apa saja faktor-faktor penyebab sengketa tanah di Indonesia. berikut ini penjelasannya:
– Konflik kepentingan disebabkan adanya persaingan kepentingan.
– Konflik data bermula dari informasi yang tidak lengkap, informasi keliru, pendapat berbeda, dan data yang berbeda.
– Kurang adanya kejelasan ketika melakukan proses sertifikasi tanah tersebut.
– Kurang memperhatikan proses administrasi, hal ini akan membuat orang lain lebih mudah dalam mengklaim hak kepemilikan tanah tersebut.
– Meningkatnya permintaan tanah berbanding terbalik dengan ketersediaan tanah di Negara Indonesia khususnya.
– Adanya campur tangan mafia di dalam pendaftaran tanah.
Berikut adalah contoh kasus sengketa tanah yang bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang terjadi di Desa Way Huwi, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, yang didalam sertifikat HGB tersebut terdapat tanah yang merupakan Fasum dan Fasos.
Kasus ini berawal ketika di tahun 1996 sebuah perusahaan bernama PT Budi Tata Semesta (BTS) mengaju permohonan HGB atas tanah seluas lebih kurang 350 hektare kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lampung Selatan. Tanah tersebut terletak diantaranya di Desa Way Huwi, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.
Selanjutnya BPN Kabupaten Lampung Selatan mengeluarkan Peta situasi Tanah Way Huwi/Jatimulyo berdasarkan SK BPN Lampung Selatan nomor:400/KPLS.72/IL/96 Tanggal 10 April 1996.
Setelah itu pada tanggal 3 Mei 1996, Kepala BPN Kabupaten Lampung Selatan, mengeluarkan Peta Petunjuk Lokasi sebagai Lampiran SK ijin Lokasi yang di mohonkan oleh PT BTS dengan nomor : 400/KPLS.79/IL/1996 tanggal 3 Mei 1996.
Dimana dalam peta izin lokasi yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Lampung Selatan, tanah yang merupakan Fasum dan Fasos yang menjadi objek sengketa tidak masuk dalam peta izin lokasi dalam permohonan, dan tanah Fasum dan Fasos tersebut telah dikeluarkan oleh pemerintah dari peta izin lokasi HGB pemohon (sesuai dengan denah lokasi).
Dan pada tanggal 28 Agustus 1996, BPN Kabupaten Lampung Selatan mengeluarkan Sertifikat HGB atas nama PT BTS dengan nomor : 08.02.15.16.3.00370. Dengan surat Ukur, Gambar Situasi atau Peta Situasi nomor:10 /1996, seluas 351,200 M2 dengan kegunaan tanah pertanian, akan dipergunakan untuk pembangunan perumahan/real estate.
Namun diduga PT BTS tidak melaksanakan ketentuan peruntukan tanah sebagai mana yang tertuang dalam HGB nomor : 08.02.15.16.3.00370.yang diterbitkan oleh BPN Kabupaten Lampung Selatan pada tanggal 28 Agustus 1996, yakni untuk pembangunan perumahan/real estate alias tanah terlantar.
Sementara, aturan mengenai tanah terlantar di Indonesia tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. PP ini mencabut PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penataan dan Pemanfaatan Tanah Terlantar.
Dalam PP tersebut, tanah terlantar diartikan sebagai tanah hak milik yang terlantar selama 20 tahun. Menteri menetapkan tanah sebagai tanah terlantar jika pemegang haknya atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan hak atas tanah tidak mengambil langkah yang diperlukan.
Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar dapat menjadi asset bank tanah atau Tanah Cadangan Umum Negara. Tanah Cadangan Umum Negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Dalam menangani kasus tanah terlantar, upaya perlindungan hukum bagi masyarakat dan kepastian hukum atas penetapan tanah terlantar lebih diutamakan daripada upaya penertibannya.
Adapun tanah dikatakan terlantar adalah: Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
Sementara jangka waktu tanah dinyatakan terlantar untuk jenis hak atas tanah HGB, hak pakai, hak pengelolaan, dan HGU adalah jika tidak digunakan, dimanfaatkan, dan/atau dipelihara selama 2 tahun sejak diterbitkannya hak.
Selain itu merujuk pada Undang-Undang No 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pasal 40 yang berbunyi, Hak Guna Bangunan (HGB) Hapus Karena:
a. Jangka waktu berakhir.
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir
karena sesuatu syarat tidak terpenuhi.
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum
waktunya berakhir.
d. Dicabut untuk kepentingan umum.
e. Di telantarkan.
f. Tanahnya musnah.
g. Ketentuan dalam pasal 36 (ayat 2).
Bandar Lampung, 04 Januari 2025.
Oleh : Pinnur Selalau.