Opini : Pinnur Selalau
Masalah banjir di Kota ini hingga saat ini belum juga bisa diatasi, padahal masalah tersebut setiap menjelang pemilu maupun pilkada menjadi isu yang paling sexy dan menjadi alat politik bagi caleg maupun cakada untuk menarik simpati masyarakat untuk melabuhkan pilihan pada mereka.
Berbagai janji maupun solusi untuk mengatasi masalah banjir di kota ini selalu diungkapkan kepada masyarakat melalui visi dan misi saat kampanye untuk merebut hati rakyat agar memilih mereka baik sebagai caleg maupun cakada saat pemungutan suara tiba.
Saat menjelang pemilu maupun pilkada sangat rajin turun ke bawah menyambangi warga dari rumah ke rumah, dari RT satu ke RT yang lainnya dan tiada hari tanpa menemui warga guna menyerap aspirasi dan harapan masyarakat serta menawarkan berbagai program dan solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada pada masyarakat.
Ironisnya, setelah pemilu maupun pilkada usai, mereka yang tadinya rajin turun ke masyarakat untuk mendengarkan dan menyerap aspirasi masyarakat, kini hilang bak ditelan bumi dan seolah tidak mau tahu dengan apa yang sedang terjadi dan dialami oleh masyarakat.
Janji-janji politik mereka kepada masyarakat beberapa tahun yang lalu hanya tinggal janji, teori dan solusi untuk mengatasi banjir yang mereka sampaikan saat kampanye beberapa tahun yang lalu hingga saat ini tidak juga terealisasikan.
Penulis jadi teringat penggalan lagu Ebiet G Ade “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan Dosa-dosa”. Penggalan lagu tersebut mungkin ada benarnya, kita salah dalam memilih pemimpin dan kita berdosa karena telah mempercayakan hak politik kita kepada orang yang salah.
Atau bisa jadi sesuai dengan penggalan bait lagu berikutnya, ” Atau alam mulai bosan bersahabat dengan kita.. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang” kata Ebiet G Ade.
Yang jadi masalah nya sekarang rumput yang akan kita tanya sudah tidak bergoyang karena tidak ada lagi, sebagian besar sudah dibabat habis dan berubah menjadi area perumahan dan komersial.
Saat banjir melanda, banyak yang menyalahkan curah hujan tinggi atau air pasang. Padahal, persoalan ini jauh lebih kompleks. Banjir di kota ini adalah akibat dari lemahnya pengawalan terhadap tata ruang, buruknya sistem drainase, dan minimnya kolaborasi lintas sektor dalam mencari solusi, sehingga mencerminkan pemimpin yang tidak mempunyai kualitas.
Menjaga dan memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) adalah langkah penting untuk memulihkan kapasitas kawasan resapan air. RTH juga berfungsi mengurangi suhu kota dan meningkatkan kualitas hidup warganya.
Pemerintah perlu dan wajib menegakkan kebijakan tata ruang dengan tegas. Pengawasan terhadap alih fungsi lahan harus diperketat, dan pembangunan di kawasan resapan air harus dihentikan, pengerukan gunung yang serampangan harus distop apapun alasannya.
Banjir bukanlah takdir yang harus diterima seluruh warga masyarakat kota ini. Dengan perencanaan matang dan kolaborasi lintas sektor, banjir bisa diatasi. Namun, hal ini memerlukan komitmen bersama, mulai dari pemerintah, pelaku pembangunan, hingga masyarakat umum.
Pemerintah perlu merencanakan dan melakukan pembangunan yang sifatnya urgent, yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hentikan pembangunan infrastruktur yang tidak ada urgensi nya sama sekali, yang hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
Mempercantik kota boleh-boleh saja, asalkan masalah yang selalu menimpa masyarakat kecil sudah bisa diatasi, seperti contoh masalah banjir yang hampir setiap tahun menimpa masyarakat kota ini dan merugikan masyarakat dari segi materi bahkan nyawa.
Kita harus bergerak bersama untuk membangun kota ini yang lebih adaptif, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Tanpa langkah nyata, banjir akan terus menjadi momok yang menghambat perkembangan kota ini. Mari kita ubah arah pembangunan kota ini menuju masa depan yang lebih cerah. (**)
Bandar Lampung, 19 Januari 2025.
Editor : Melia Eprianti S.H.