Penulis: Pinnur Selalau.
Opini : Pendidikan karakter di Indonesia ibarat benang kusut yang sulit diurai. Semangat untuk membentuk generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berakhlak mulia dan berintegritas, telah digaungkan sejak lama. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya masih jauh dari harapan. Di tengah berbagai kebijakan silih berganti, pendidikan karakter kerap kali menjadi jargon tanpa arah yang jelas.
Sejak era reformasi, pemerintah mulai menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai fondasi pembangunan bangsa. Kurikulum pun terus mengalami revisi. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga Kurikulum 2013 dan kini Kurikulum Merdeka. Semuanya membawa misi yang sama: membentuk peserta didik yang tidak hanya pintar, tapi juga berkarakter. Sayangnya, di balik niat baik itu, pelaksanaannya kerap terganjal oleh berbagai persoalan klasik: minimnya pemahaman guru, ketidakkonsistenan kebijakan, dan tekanan capaian akademik yang menggeser prioritas nilai-nilai moral.
Pendidikan karakter sejatinya bukan sekadar materi pelajaran, melainkan harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kehidupan sekolah. Mulai dari interaksi antara guru dan siswa, suasana lingkungan belajar, hingga kebijakan sekolah. Namun, banyak sekolah masih menjadikan pendidikan karakter sebagai formalitas: sekadar menghafal Pancasila, menyanyikan lagu wajib, atau mengikuti upacara bendera. Padahal, karakter tidak bisa ditanamkan lewat ceramah semata, tetapi melalui keteladanan, kebiasaan, dan lingkungan yang mendukung.
Peran guru menjadi sangat krusial dalam hal ini. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing dan panutan. Namun faktanya, tidak semua guru dibekali pelatihan yang cukup tentang pendidikan karakter. Banyak yang masih terpaku pada capaian kognitif siswa, karena itu yang diukur dalam ujian. Pendidikan karakter pun menjadi korban sistem yang lebih mengutamakan angka ketimbang proses.
Di sisi lain, tantangan pendidikan karakter juga datang dari luar sekolah. Lingkungan keluarga dan masyarakat memiliki andil besar dalam membentuk karakter anak. Namun, tidak semua orang tua memiliki kesadaran atau kemampuan untuk mendidik anak secara holistik. Bahkan, tidak jarang anak mendapatkan nilai-nilai yang bertentangan di rumah dan di sekolah. Media sosial dan budaya pop juga memberi pengaruh besar, sering kali negatif, terhadap cara anak memandang dunia.
Meski demikian, bukan berarti kita harus pesimis. Masih banyak contoh sekolah dan komunitas yang berhasil membangun ekosistem pendidikan karakter yang sehat. Sekolah-sekolah yang mengedepankan budaya saling menghormati, kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong—bukan hanya dalam kata-kata, tapi dalam tindakan nyata. Guru-guru yang menjadi teladan dalam integritas dan kepedulian. Orang tua yang aktif berkolaborasi dengan sekolah demi mendidik anak secara utuh.
Untuk mengurai benang kusut ini, dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Pertama, pemerintah perlu memberikan panduan yang lebih konkret dan fleksibel bagi sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter, bukan hanya sekadar dokumen formal. Kurikulum harus memberi ruang bagi nilai-nilai moral dan kemanusiaan untuk hidup dalam keseharian, bukan sebagai beban tambahan.
Kedua, penguatan kompetensi guru sangat penting. Guru perlu diberi pelatihan, pendampingan, dan dukungan untuk mengembangkan metode pembelajaran yang mengintegrasikan nilai karakter secara kontekstual. Pendidikan karakter juga harus menjadi bagian dari evaluasi guru dan kinerja sekolah, sehingga tidak hanya menjadi hiasan dalam visi-misi.
Ketiga, peran orang tua dan masyarakat harus diperkuat. Sekolah tidak bisa bekerja sendirian. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan komunitas menjadi kunci keberhasilan. Kampanye nilai-nilai positif melalui media, kegiatan sosial, dan budaya lokal bisa menjadi penopang ekosistem karakter yang lebih luas.
Pendidikan karakter bukan proyek instan. Ia membutuhkan waktu, komitmen, dan kesabaran. Namun, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan melibatkan semua pihak, benang kusut itu bisa perlahan-lahan terurai. Generasi muda Indonesia tidak hanya akan tumbuh menjadi insan yang cerdas, tapi juga beradab, jujur, dan bertanggung jawab. Inilah investasi sejati untuk masa depan bangsa.
Editor: Melly Epriyanti S.H.
Author : RadarCyberNusantara.Id