Penulis : Pinnur Selalau.
(Pemred RadarCyberNusantara.Id)
Hoax bukan sekadar kebohongan, ia perusak tatanan sosial. Ia memicu kebencian, fitnah, dan perpecahan, dan yang lebih berbahaya ia menyamar sebagai kebenaran.
Jika masih ada insan pers menyebarkan atau membuat hoax, sangsi baginya harus diperberat.
Di era ketika satu genggaman tangan bisa menyebar kebohongan ke jutaan orang, pers tidak bisa ikut larut dalam kebisingan tanpa verifikasi.
Teknologi adalah keniscayaan, tapi dibalik kemudahan itu lahir pula para “Wartawan abal-abal.” Itu istilah untuk mereka yang tak terlatih, tak terikat etika, hanya mengejar kecepatan, bukan kebenaran.
Jurnalisme bukan hanya soal menyebarkan informasi, tapi soal tanggung jawab. Dulu hanya pers yang bisa menyebarkan berita massal, kini semua orang bisa. Tapi tak semua orang punya integritas jurnalistik.
Demokratisasi informasi tanpa kesadaran etik melahirkan lahan subur bagi hoax. Saya mencemaskan kemunduran industri berita, media cetak melambat, iklan beralih, dan profesional kehilangan pijakan.
Dalam kekacauan itu, hoax tak lagi sekadar gangguan, ia menjelma menjadi pengganti kebenaran. Untuk itu menurut saya, sangsi tak bisa lagi bersifat administratif. Ia harus menjadi penanda tegas bahwa penyebaran hoax dari dalam tubuh pers adalah pengkhianatan pada profesi.
Sejarah membuktikan berapa berbahayanya hoax.
Tahun 1994, Rwanda dihancurkan oleh radio RTLM yang menyebar hoax dan ujaran kebencian. Kelompok Tutsi disebut “Kecoa.”
Hasilnya: dalam 100 hari, 800.000,jiwa tewas. Semua bermula dari siaran-siaran yang menyalakan amarah dan menghapus kemanusiaan.
Kata-kata bisa menjadi peluru, hoax bisa membunuh, tak hanya karakter, tapi juga tubuh.
Pers adalah pilar terakhir kebenaran. Jika mereka yang seharusnya menjadi penjaga justru ikut menyebar dusta, kepada siapa publik bisa percaya.? Karena tanpa etika, profesi ini akan kehilangan legitimasi. Keistimewaan pers datang dari publik, jika publik kecewa pers tak lagi punya taji moral.
Sanksi bukan hanya hukuman, ia juga peringatan. Ketika ada harga yang harus dibayar, maka akan lahir kehati-hatian. Tak ada lagi ruang bagi mereka yang menjual kebohongan demi klik.
Saya mengusulkan didirikannya pusat informasi anti hoax yang independen, bebas dari kendali pemerintah. Kita membayangkan lembaga yang tak bekerja dengan sensor, tapi dengan data. Tempat kebenaran diverifikasi, dan kebohongan dilucuti, bukan dengan kemarahan, tapi dengan kejelasan.
Kita hidup di zaman ketika informasi mengalir deras seperti hujan. Ditengah hujan itu, kita tak butuh ember hoax, yang kita butuhkan payung etik. Jika kita gagal membedakan keduanya, kebenaran tak akan mati karena dibunuh, tapi karena dibiarkan. ***
Bandar Lampung : 04 Juli 2025.
Editor : Melli Efrianti S.H.