RadarCyberNusantara.Id | Peristiwa tragis kembali terjadi, binatang buas menyerang warga Pemangku Kali Pasir Pekon/Desa Sukabumi Kecamatan Batu Brak Kabupaten Lampung Barat hingga tewas. Korban diduga tewas dimangsa harimau sumatera saat sedang di kebun kopi di sekitar kawasan hutan lindung sekitar pukul 19.30 WIB pada Jumat (11/7/2025) lalu. Korban bernama Misri (62) ditemukan telah meninggal dunia dengan kondisi yang sangat mengenaskan, terdapat beberapa bekas luka gigitan hewan buas pada bagian kaki dan tubuh korban.
Berdasarkan data yang diperoleh , selama 1,5 tahun dalam kurun waktu sejak Februari 2024 hingga 10 Juli 2025 tercatat sembilan orang di Kabupaten Lampung Barat yang diserang harimau. Enam dari sembilan orang yang diserang harimau tersebut ditemukan tewas, sementara tiga lainnya selamat. Para korban kebanyakan pekebun kopi dan ada beberapa di antaranya berasal dari luar kabupaten Lampung Barat.
Sejumlah pihak mempertanyakan upaya pemerintah untuk segera mengambil tindakan mengatasi serangan hewan buas yang terus terjadi. Hingga berita ini diturunkan, situasi di sekitar lokasi masih mencekam, sebagian masyarakat yang saat ini sedang panen kopi takut pergi ke kebun. Salah seorang warga Batu Brak Lampung Barat, Dr. Yunada Apan yang juga seorang Akademisi ketika diminta tanggapan atas peristiwa ini di Liwa (Minggu 13/11/2025), menanggapinya dengan serius terkait tanggung jawab siapa yang paling utama mengatasi serangan hewan liar ini.
Padahal bulan April lalu Gubernur Lampung, Kapolda, dan Danrem 043/Garuda Hitam telah melakukan kunjungan ke Kabupaten Lampung Barat untuk membahas masalah kerusakan hutan kawasan TNBBS dan konflik satwa-masyarakat menandai dimulainya serangkaian langkah konkrit dengan tujuan utama menjaga TNBBS sambil tetap memberikan solusi manusiawi bagi warga. Pertanyaannya sudah sejauh mana progress atas kunjungan tersebut terutama dari pihak BKSDA.
Menurutnya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah pihak yang paling bertanggung jawab secara langsung dalam penanganan serangan hewan buas di kawasan hutan lindung.
Tugas utamanya adalah menangani konflik atau serangan hewan buas di kawasan konservasi termasuk hutan lindung. Memang menurutnya, konflik antara manusia dan satwa liar, seperti serangan harimau, gajah, atau beruang, menjadi tantangan serius di berbagai wilayah Indonesia, terutama di daerah yang berbatasan dengan habitat alami satwa.
BKSDA memiliki peran strategis dan legal yang kuat dalam pelestarian sumber daya alam. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 dan regulasi turunannya, lembaga ini menjalankan fungsi vital untuk menjaga keseimbangan ekologi di kawasan konservasi dan mencegah konflik antara manusia dan satwa liar.
Ketika masyarakat menjadi korban serangan satwa liar dari kawasan hutan, BKSDA tidak bisa hanya berperan sebagai penonton atau reaksi belaka. “Sebagai ujung tombak konservasi dan pengelola kawasan, BKSDA wajib ikut bertanggung jawab secara moral, administratif, dan fungsional. Dengan tanggung jawab yang dijalankan secara aktif dan kolaboratif, konflik manusia dan satwa bisa ditekan, dan harmoni antara alam dan manusia bisa dijaga lebih baik
Oleh sebab itu tambahnya, saya kira BKSDA harus dievaluasi karena seharusnya BKSDA memiliki sistem deteksi dini. BKSDA bukan sekadar reaksi, tapi antisipasi karena kerap kali peran BKSDA muncul hanya saat konflik sudah terjadi, setelah ada korban jiwa atau kerugian materi, padahal, yang lebih penting adalah pencegahan. BKSDA harus hadir lebih awal mendampingi masyarakat, mengembangkan kawasan penyangga, dan melibatkan warga dalam upaya konservasi.
Terkait dua instansi yang berbeda peran seperti BKSDA dan TNBBS tentang penanganan satwa liar, Yunada sependapat adanya hubungan kerja sangat erat dan saling melengkapi antara BKSDA dengan Taman Nasional dalam hal ini TNBBS khususnya dalam penanggulangan konflik antara satwa dan manusia. Meskipun keduanya memiliki peran kerja yang berbeda, tetapi tujuan utama mereka sama yakni konservasi sumber daya alam dan perlindungan satwa liar.
Tugas utama BKSDA adalah melindungi satwa liar dan habitatnya di luar kawasan taman nasional, termasuk menangani konflik satwa-manusia di pemukiman atau lahan masyarakat, sedangkan TNBBS lebih pada mengelola dan menjaga ekosistem dalam taman nasional agar tetap alami dan berfungsi ekologis.
Jika satwa liar seperti harimau, gajah, atau beruang keluar dari taman nasional dan memasuki wilayah masyarakat, maka BKSDA bertugas melakukan penanganan langsung di lokasi tersebut. Pihak taman nasional akan berkoordinasi dengan BKSDA untuk pelacakan, evakuasi, atau relokasi satwa tersebut kembali ke dalam kawasan taman nasional.
Ia mencontohkan kasus serangan harimau sumatera yang keluar dari Taman Nasional Kerinci Seblat dan masuk ke kebun masyarakat, maka BKSDA Sumatera Barat bersama pihak Balai Taman Nasional melakukan penanganan gabungan untuk mengevakuasi satwa dan menenangkan warga.
Disisi lain dia menanggapi beberapa pendapat bahwa konflik ini akibat perambah hutan TNBBS, sehingga hewan buas kehilangan sumber makanan dengan terganggunya habitat hewan buas. “Sekarang saatnya mencari solusi, dan tidak berkelit atas peristiwa yang terjadi. Ada sekelompok masyarakat di sekitar kawasan telah tinggal dan menggarap kawasan yang kini menjadi bagian dari TNBBS, jauh sebelum statusnya ditetapkan sebagai taman nasional. Situasi serupa juga dialami di berbagai kawasan hutan konservasi di Indonesia” tambahnya.
Tidak ada satu pihak tunggal yang sepenuhnya bersalah. Konflik satwa tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Sinergi dan kesadaran bersama adalah kunci utama menjaga keseimbangan antara perlindungan manusia dan kelestarian satwa liar.
Serangan hewan buas terhadap masyarakat perambah adalah akibat dari kegagalan sistemik dalam mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Menyalahkan korban tidak akan menyelesaikan konflik. Saat ini yang dibutuhkan adalah keadilan ekologis dan tanggung jawab bersama dari semua pemangku kepentingan.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai institusi teknis di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memegang peran utama dalam menangani konflik ini. Keberhasilan dalam mengatasi dan mencegah konflik satwa-manusia bergantung pada kolaborasi yang solid antara BKSDA, KLHK, pemerintah daerah, aparat keamanan seperti polisi dan TNI serta seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan dalam upaya perlindungan manusia sekaligus konservasi satwa. (Tim)