RadarCyberNusantara.id | Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandar Lampung menyampaikan sikap tegas terhadap langkah Komisi II DPR RI yang baru-baru ini memutuskan untuk melakukan pengukuran ulang terhadap lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sugar Group Companies (SGC) di Provinsi Lampung.
Meskipun langkah tersebut dinilai sebagai inisiatif positif dalam menata ulang persoalan agraria, HMI menilai bahwa tindakan tersebut tidak boleh berhenti sebagai simbol politik atau sekadar respons terhadap tekanan publik. Ketua Umum HMI Cabang Bandar Lampung, Tohir Bahnan, menegaskan bahwa upaya penataan agraria harus dilakukan secara menyeluruh, menyasar seluruh perusahaan pemegang HGU besar di Lampung yang selama ini luput dari pengawasan ketat negara.
Tohir menyebut bahwa konflik agraria di Lampung bukan hanya terpusat pada PT SGC, tetapi juga melibatkan banyak korporasi lain seperti PT Bumi Waras, PT BNIL, PT AKG, hingga PTPN I Regional 7 yang memiliki riwayat panjang konflik lahan dengan masyarakat lokal, petani, bahkan komunitas adat.
Selain itu, sejumlah perusahaan nasional besar juga turut menguasai konsesi lahan dalam skala besar di Lampung, seperti grup Sinarmas, Gajah Tunggal, Wilmar Group, dan PT Great Giant Pineapple (GGP) yang mengelola ribuan hektare perkebunan nanas dan buah di Lampung Tengah.
HMI menilai bahwa seluruh perusahaan tersebut harus menjadi subjek audit dan pengukuran ulang, mengingat selama ini banyak keluhan masyarakat terkait transparansi luasan lahan, batas wilayah HGU, hingga kontribusi perusahaan terhadap pembangunan daerah.
HMI juga menyoroti keberadaan kawasan Register yang selama ini menjadi titik panas konflik agraria berkepanjangan. Di antaranya, Register 42 yang terletak di wilayah Way Kanan dan dikelola oleh BUMN kehutanan PT Inhutani V, dengan luas lebih dari 12.000 hektare. Kawasan ini juga melibatkan pihak swasta seperti PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) dalam skema kemitraan pengelolaan, yang justru memunculkan sengketa baru dengan masyarakat lokal terkait batas wilayah dan akses sumber penghidupan.
Demikian pula dengan Register 44 dan 46 yang sejak 1940 telah ditetapkan sebagai hutan larangan oleh Marga BPPI Negara Batin. Kedua kawasan ini kini dikelola oleh PT Inhutani V dan sebagian dimanfaatkan oleh perusahaan mitra seperti PT Budi Lampung Sejahtera (BLS) dan PT Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI). Namun, hingga kini status lahan, batas administratif, dan hak masyarakat adat di kawasan tersebut masih dipenuhi ketidakjelasan hukum yang memicu ketegangan sosial.
Langkah Komisi II DPR RI yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tanggal 15–16 Juli 2025, menginstruksikan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk melakukan pengukuran ulang terhadap seluruh lahan HGU PT SGC. Keputusan ini diambil menyusul ketimpangan data yang signifikan mengenai luasan lahan SGC. Tercatat bahwa BPN pada 2019 menyebutkan luas lahan sebesar 75.600 hektare, Kantor ATR/BPN Tulang Bawang mencatat 86.000 hektare, situs resmi DPR RI menyebutkan 116.000 hektare, sementara BPS pada 2013 mencatat hingga 141.000 hektare. Adapun klarifikasi terakhir dari Kementerian ATR/BPN pada 14 Juli 2025 menyebutkan bahwa luas aktual SGC adalah 84.523 hektare yang tersebar di 25 bidang tanah di Tulang Bawang dan Lampung Tengah, yang dikelola oleh empat anak perusahaan SGC yakni PT SIL, PT GPA, PT ILP, dan PT GPM. Perbedaan data ini, menurut HMI, menjadi bukti bahwa sistem tata kelola pertanahan nasional masih menyimpan celah besar yang membuka ruang penyimpangan struktural.
Sayangnya, menurut HMI, pengukuran ulang tersebut belum secara adil diperluas ke perusahaan-perusahaan lain yang juga memiliki jejak konflik lahan. Contohnya, PTPN I Regional 7 Unit Way Berulu yang memiliki HGU No. 04 dengan luas terdaftar 1.544 hektare, tetapi hasil verifikasi menunjukkan penguasaan lahan mencapai 1.722 hektare, selisih 178 hektare yang memunculkan potensi pelanggaran. DPRD Kabupaten Pesawaran telah menyepakati perlunya pengukuran ulang sejak Maret 2025, namun hingga kini belum terealisasi karena penolakan dari pihak PTPN yang menunggu perintah pengadilan.
Situasi serupa terjadi di PT Bumi Madu Mandiri (BMM) di Way Kanan yang diduga menguasai lebih dari 4.600 hektare lahan eks-PTPN tanpa kejelasan legalitas. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar seperti PT Bumi Waras, PT BNIL, PT AKG, Wilmar, Sinarmas, dan Gajah Tunggal juga belum pernah tersentuh audit menyeluruh, padahal laporan masyarakat mengungkap adanya tumpang tindih, konflik sosial, hingga dugaan pelanggaran hak atas tanah.
Atas dasar realitas tersebut, HMI Cabang Bandar Lampung mendesak agar pengukuran ulang tidak berhenti sebagai simbol politik yang hanya menyentuh satu entitas korporasi, melainkan menjadi awal dari restrukturisasi tata kelola agraria secara menyeluruh di Provinsi Lampung.
HMI meminta Komisi II DPR RI dan Kementerian ATR/BPN untuk segera melaksanakan pengukuran ulang terhadap seluruh lahan HGU yang dikuasai korporasi besar, membuka data HGU secara transparan ke publik, serta memastikan informasi mengenai pemegang hak, batas wilayah, masa berlaku, dan kontribusi ekonomi disampaikan secara akuntabel.
Selain itu, HMI juga menuntut dilakukannya audit sosial dan lingkungan terhadap korporasi yang memiliki riwayat konflik dengan masyarakat. Pemerintah daerah diminta untuk tidak lagi bersikap pasif, melainkan turut aktif menjamin proses penataan agraria berjalan adil dan berpihak pada rakyat kecil.
HMI menyatakan komitmennya untuk terus mengawal proses penertiban HGU dan menyusun peta advokasi konflik agraria secara partisipatif bersama masyarakat adat, organisasi petani, dan kelompok sipil lainnya. “Keadilan agraria bukan soal data belaka, tetapi menyangkut hidup dan ruang rakyat. Jangan hanya ukur yang ramai, tapi diam pada yang sunyi. Kami akan terus bersuara hingga negara benar-benar berdiri di tengah, bukan di bawah bayang-bayang korporasi,” pungkas Tohir Bahnan.
|Red