Oleh : Pinnur Selalau
Bencana banjir telah menjadi langganan kota ini beberapa waktu terakhir ini.
Tak terhitung korban material seperti kerusakan rumah, jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainnya serta kerugian immaterial seperti trauma, stres, depresi, kecemasan bahkan kematian.
Tahun ini saja, yang baru beberapa bulan berjalan sudah beberapa korban jiwa yang meninggal dunia akibat bencana banjir, belum lagi kerugian materi yang dialami oleh masyarakat akibat musibah banjir.
Seluruh kota merasakan dampak banjir yang sangat mengerikan. Meski demikian, dalam perspektif sosiologis, ketidakmerataan distribusi risiko lingkungan menyebabkan mereka yang tergolong rentan secara ekonomi merasakan dampak terbesar dari bencana banjir.
Kelompok rentan ini umumnya hanya dapat mengakses perumahan di lahan marjinal, bermukim di dataran rendah, bantaran sungai, sekitar pembuangan sampah bahkan dekat muara sungai.
Kondisi mereka diperburuk oleh kurangnya akses informasi, minimnya infrastruktur dasar, keterbatasan sumber daya dan lemahnya jejaring sosial dan komunikasi ke pusat-pusat kekuasaan.
Dari pengamatan penulis ditemukan bahwa penyebab banjir di Kota Bandar Lampung adalah akibat rusaknya sistem drainase, rusaknya hutan di sebagian pinggiran kota Bandar Lampung sebagai penyangga dan resapan air akibat maraknya tambang ilegal, perencanaan tata ruang wilayah yang semrawut, curah hujan ekstrim, minimnya ruang terbuka hijau, pendangkalan kanal-kanal dalam kota serta tata kelola persampahan yang amburadul.
Mengetahui penyebab dominannya berkaitan dengan prilaku manusia (man-made flood), masih relevankah menyalahkan alam atau pihak lainnya ketika setiap tahun terjadi bencana banjir yang menyebabkan bencana kemanusiaan yang tak terperikan?
Sebagai sebuah institusi politik yang strategis apa peran pemerintah kota dalam mengatasi masalah banjir? Apa kontribusi masyarakat dalam membantu pemerintah dalam mitigasi banjir?
Penulis menelusuri jejak pemberitaan bencana banjir di kota Bandar Lampung sejak tahun 2019, dimana Eva Dwiana (ED) untuk pertama kalinya dilantik sebagai Wali Kota Bandar Lampung.
Selama hampir dua periode memimpin, semua dapat menyaksikan bahwa ED telah gagal mengatasi banjir sesuai dengan janji politik nya saat kampanye pencalonan dirinya sebagai Walikota Bandar Lampung pada tahun 2019 yang lalu.
Di kesempatan debat kandidat cawakot pada tahapan pilwalkot saat itu, ED berseloroh akan “memengkolkan” kali/ sungai sebagai janji kepada warga yang dapat mengatasi persoalan banjir di kota Bandar Lampung.
Namun seloroh atau janji politiknya tersebut hingga usai masa jabatan periode pertama (2019-2024) tidak ada yang terealisasi hingga memasuki masa jabatan untuk periode yang kedua. Pertanyaannya, apakah banjir hanya akan menjadi dagangan politik..?
Pada kepemimpinannya periode ke dua ini, ED kembali berwacana untuk membangun kereta gantung, setelah pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menelan biaya puluhan miliar, dan menurut beberapa pengamat bahwa pembangunan JPO tersebut tidak ada urgensi nya sama sekali bagi masyarakat kota Bandar Lampung.
Secara implisit ED mendeklarasikan kegagalannya dan pada saat bersamaan menebar pesimisme terhadap masalah banjir yang mustahil diselesaikan.
Pernyataan pesimis, sembrono dan merendahkan dari seorang pemimpin yang sudah lima tahun memimpin kota Bandar Lampung tersebut membuat banyak orang mencibir dan meragukan kualitas kepemimpinan dari ED.
Dalam karya seminalnya, “What Makes a Leader” yang diterbitkan di Harvard Business Review (HBR 2004), Psikolog Daniel Goleman menegaskan bahwa sering kali pemimpin ideal itu digambarkan sebagai orang yang cerdas, tegas, dan visioner, sebagaimana gambaran tradisional seorang pemimpin.
Menurut Goleman, keahlian dan kecerdasan demikian tidaklah cukup untuk menjadi pemimpin yang baik.
Satu elemen penting yang terlupakan dari kualitas seorang pemimpin yang sangat esensial dalam membawa transformasi positif yaitu kecerdasan emotional (emotional intelligence).
Di dalam buku dengan judul yang sama, Goleman mengurai elemen dasar yang menopang kecerdasan emosional; self-awareness, self-management, social awareness dan relationship management.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan krusial baik untuk mengenali, memahami dan mengatur emosi diri sendiri maupun mengenali dan memahami dampak emosi tersebut kepada orang lain.
Dalam praktik sehari-hari, kecerdasan emosional akan membuat kita waspada akan dorongan emosional yang dapat berpengaruh terhadap sikap dan prilaku orang lain baik secara positif maupun negatif.
Kecerdasan ini menurut Goleman akan sangat membantu seorang pemimpin baik dalam memberi maupun menerima masukan, memenuhi target kinerja, menghadapi hubungan sosial yang kompleks, tidak memiliki sumber daya yang memadai, memimpin dalam perubahan dan bangkit dari kegagalan.
Jadi siapa pun yang jadi pemimpin, ketika berada dalam tekanan, gagal memberi solusi terhadap masalah krusial kemudian menyalahkan orang lain, menebar pesimisme, merendahkan orang lain adalah pemimpin yang tidak memiliki kecerdasan emosional.
Di berbagai peristiwa banjir, unsur masyarakat paling sering jadi sasaran perundungan, terutama mereka yang bermukim di daerah-daerah kumuh perkotaan, atau beberapa perusahaan yang justru dijadikan kambing hitam untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam mengelola lingkungan dan menata ruang.
Mereka dianggap menjadi bagian tak terpisahkan dari kompleksitas penanganan sampah, drainase, aliran sungai, tata kelola kanal dan penataan permukiman.
Kota secara hegemonik dikendalikan dan dibangun oleh pemilik kapital, aktor negara, arsitek, perencana kota dan memproduksi ruang yang oleh Henri Lefebvre disebut sebagai ruang yang dikonsepsikan (conceived space).
Dalam pengertian ini, produksi ruang baik secara spasial maupun sosial erat kaitannya dengan perkembangan “mode of production” masyarakat moderen, dimana produksi pengetahuan tentang ruang adalah refleksi atas relasi keduanya.
Lefebvre menegaskan bahwa konstruksi atas ruang merupakan nafas dari kapitalisme dimana ruang adalah sesuatu yang sama eksisnya dengan komoditas. Ruang sosial adalah produk sosial yang nyata.
Konsep Hak atas kota (right to the city) kemudian menemukan relevansinya dalam pelibatan masyarakat dalam penangan banjir di kota Bandar Lampung.
Hak atas kota bukan berarti hak semua warga untuk hidup dan mengokupasi ruang di wilayah perkotaan.
Ia merupakan hak untuk mendapatkan kualitas hidup yang layak, hak yang berusaha mengklaim kembali sentralitas kota sebagai katalisator kesetaraan melalui revitalisasi ruang publik serta mendorong partisipasi warga di setiap proses pengambilan keputusan.
Proses ini tentu melibatkan pengorganisasian warga secara aktif melalui gerakan bersama untuk mengakhiri segregasi spasial yang diskriminatif, mengakomodasi pluralitas dan mengkahiri pemanfaatan ruang yang semata untuk kepentingan kapitalistik yang menegasi keseimbangan ekologi, sosial dan kultural.
Sampai kapankah masyarakat kota Bandar Lampung ini akan terlepas dan terbebas dari momok yang bernama (Banjir) yang mengancam keselamatan jiwa dan kehilangan harta benda disaat musim penghujan tiba.
Semoga Pemerintah Kota Bandar Lampung dan Pemerintah Provinsi Lampung dapat menemukan solusi dan melakukan reaksi nyata untuk membuat masyarakat hidup nyaman dan aman dan terbebas dari bayang-bayang Banjir saat musim hujan tiba, sebab hujan merupakan Berkah dari sang Pencipta, tapi jangan sampai Berkah tersebut justru menjadi Musibah. (**)
Editor: Melly Epriyanti S.H.
Author : RadarCyberNusantara.Id.