RadarCyberNusantara. Id | Fenomena “uang pelicin” di tubuh birokrasi Indonesia ibarat karat yang menempel lama di besi tua. Ia tidak selalu tampak, namun perlahan menggerogoti kejujuran, mengikis rasa percaya publik, dan menjadikan sistem pemerintahan rapuh dari dalam. Dalam banyak kasus, pelicin dianggap hal sepele sekadar uang rokok, tanda terima kasih, atau jalan pintas agar urusan cepat selesai. Padahal di balik istilah halus itu tersembunyi praktik pungutan liar yang menyalahi hukum dan merusak sendi moral birokrasi.

Akar Masalah, Dari Budaya ke Kebiasaan
Pelicin muncul karena dua sisi yang saling memberi ruang: birokrasi yang berbelit dan masyarakat yang permisif. Ketika prosedur panjang dianggap menyulitkan, sebagian orang mencari cara cepat, dan di sanalah celah muncul. Oknum pegawai memanfaatkan kesempatan, sementara warga yang terburu-buru rela mengeluarkan uang tambahan. Akhirnya, transaksi tidak resmi ini berubah menjadi kebiasaan yang diterima sebagai “kewajaran”.
Dalam wawancara singkat, seorang dosen administrasi publik menyebut, praktik pelicin sejatinya adalah bentuk mikro dari korupsi sistemik. “Begitu kecil dianggap biasa, begitu besar baru disebut kejahatan. Padahal esensinya sama: menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Arti Pelicin di Dunia Birokrasi
Secara istilah, pelicin adalah uang atau imbalan yang diberikan di luar ketentuan resmi untuk memperlancar urusan administrasi. Dalam kamus hukum, tindakan ini masuk kategori gratifikasi yang melanggar etika pelayanan publik. Di banyak kantor pemerintahan, bentuknya bisa bermacam-macam dari amplop kecil, uang parkir tambahan, hingga ‘biaya percepatan’ yang tak tercatat.
Bila ditelaah dari sudut hukum, pelicin termasuk pungutan liar (pungli). Artinya, tidak ada dasar hukum yang melegitimasi pembayaran itu. Meski sering dibungkus dengan kalimat sopan seperti “sumbangan sukarela”, selama tidak ada ketentuan resmi dan transparansi, praktik tersebut tetap melanggar hukum.
Modus-Modus yang Masih Subur
Pelicin tidak selalu diminta secara terang-terangan. Sering kali ia hadir dalam bentuk sinyal halus, kode, atau permintaan tidak langsung. Misalnya, ucapan “kalau mau cepat, bisa dibantu,” atau “bisa lewat orang dalam biar gak antre.” Dari perizinan usaha hingga pengurusan dokumen pribadi, modusnya hampir sama: warga dipersulit agar mau membayar, atau diiming-imingi kemudahan bila memberi uang tambahan.
Ada pula versi yang lebih terselubung, yakni “uang terima kasih” setelah urusan selesai. Padahal pemberian semacam itu tetap melanggar etika karena berpotensi membangun kebiasaan baru pegawai merasa layak menerima, dan masyarakat merasa wajib memberi. Ketika ini menjadi norma sosial, pelicin berubah menjadi budaya.
Dampak Nyata Sistem Rusak dari Dalam
Membiarkan pelicin hidup dalam birokrasi sama saja menanam benih korupsi. Setiap rupiah yang diberikan di luar aturan melemahkan prinsip keadilan dan merusak nilai meritokrasi. Yang punya uang lebih bisa dilayani lebih cepat, sementara rakyat kecil harus menunggu lebih lama atau bahkan tidak dilayani sama sekali.
Ekonom publik menilai, budaya pelicin menciptakan ekonomi biaya tinggi. Investor ragu menanam modal karena takut biaya siluman. Pengusaha lokal pun menanggung beban lebih besar. “Transaksi semacam ini membuat negara kehilangan efisiensi, dan akhirnya rakyat yang menanggung,” kata seorang pengamat kebijakan publik.
Tidak hanya ekonomi yang terpengaruh. Pelayanan publik menjadi tidak efektif, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Padahal kepercayaan adalah pondasi utama legitimasi negara. Tanpa itu, setiap kebijakan akan dianggap sekadar formalitas, bukan solusi.
Bukan Hanya di Pemerintahan, tapi Juga di Dunia Pendidikan
Pelicin tidak berhenti di kantor pelayanan publik. Dalam dunia pendidikan, bentuknya bisa berupa uang tambahan agar anak diterima di sekolah favorit, atau “ucapan terima kasih” agar nilai dinaikkan. Kadang dibungkus dengan istilah sumbangan, namun bila sifatnya wajib dan tidak transparan, tetap tergolong pungli.
Lembaga pendidikan seharusnya menjadi benteng moral bangsa. Ketika pelicin masuk ke ruang kelas, generasi muda justru belajar bahwa kejujuran bisa dinegosiasikan. Dari sinilah mental koruptif tumbuh bukan karena sistem, tetapi karena teladan yang salah.
Ketika Pelicin Jadi Budaya, Negara Tak Akan Maju
Bila pelicin dibiarkan menjadi bagian dari budaya birokrasi, yang muncul bukan efisiensi, melainkan ketimpangan. Birokrasi akan kehilangan roh pengabdiannya, bergeser menjadi mesin yang hanya bergerak bila diberi imbalan. Dalam jangka panjang, kondisi ini menurunkan kualitas pelayanan publik, memperlambat reformasi, dan menciptakan jurang sosial antara pejabat dan rakyat.
Negara-negara yang kini maju justru berhasil membangun sistem bebas pelicin. Jepang, Finlandia, dan Singapura menjadi contoh bahwa birokrasi yang transparan dan digital bisa menutup ruang negosiasi uang tidak resmi. Mereka menanamkan budaya integritas sejak pendidikan dasar, memastikan setiap pegawai memahami bahwa kecepatan bukan dijual, melainkan dituntut oleh tanggung jawab.
Sementara di Indonesia, pemerintah terus berupaya menekan praktik pelicin melalui reformasi birokrasi, sistem digitalisasi layanan, dan pembentukan zona integritas. Program seperti e-Government, LAPOR!, dan Ombudsman RI dirancang agar masyarakat bisa mengawasi pelayanan publik secara langsung. Namun perubahan budaya memerlukan waktu panjang dan konsistensi. Tanpa dukungan moral masyarakat, kebijakan hanya berhenti di permukaan.
Mengapa Budaya Ini Sulit Hilang?
Ada beberapa alasan sosiologis mengapa pelicin sulit dihapus. Pertama, adanya mental “asal beres” yang membuat orang enggan mengikuti prosedur resmi. Kedua, gaji sebagian aparatur belum sebanding dengan beban kerja, sehingga sebagian mencari jalan pintas pendapatan tambahan. Ketiga, masih rendahnya kesadaran hukum dan pengawasan masyarakat terhadap pungli kecil.
Namun alasan-alasan tersebut bukan pembenaran. Selama pelicin dibiarkan, sistem hukum akan terus bocor. Sekali pegawai merasa aman menerima, maka ia akan mengulangi. Sekali warga merasa mudah memberi, maka ia akan membiasakan. Di titik itulah budaya korupsi tumbuh diam-diam.
Dampak Sosial dan Moral Rusaknya Nilai Kejujuran
Lebih jauh, pelicin mengubah struktur moral masyarakat. Anak muda melihat orang dewasa berhasil karena uang, bukan kerja keras. Mereka belajar bahwa kejujuran tidak membawa hasil cepat. Lama-lama, kepercayaan terhadap nilai etika publik hilang. Ketika integritas sudah tidak dihargai, negara kehilangan arah moralnya.
Padahal, sejarah menunjukkan, bangsa besar tumbuh karena kejujuran warganya, bukan karena licinnya negosiasi. Pemerintahan yang baik hanya lahir dari pejabat yang takut menyalahgunakan kekuasaan, bukan dari rakyat yang takut urusannya dipersulit.
Jalan Keluar Membangun Budaya Anti Pelicin
Perubahan tidak bisa datang hanya dari atas. Diperlukan sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk mematikan ruang hidup pelicin. Setidaknya ada tiga langkah kunci: penyederhanaan prosedur, transparansi biaya, dan digitalisasi layanan publik. Bila semua proses tercatat secara daring, peluang transaksi gelap akan menurun drastis.
Pendidikan moral juga harus menjadi prioritas. Sekolah dan kampus perlu menanamkan nilai integritas sebagai bagian dari karakter bangsa. Anak-anak harus diajarkan bahwa memberi uang agar dilayani lebih cepat bukanlah bentuk kecerdikan, melainkan pelanggaran etika publik. Ketika nilai ini tertanam sejak dini, generasi mendatang akan tumbuh dengan mental baru berani jujur, tidak mudah tergoda, dan menghormati aturan.
Selain itu, pengawasan publik harus diperkuat. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk melapor jika menemukan pungli. Aplikasi pengaduan seperti LAPOR! dan lembaga Ombudsman menjadi kanal efektif untuk menekan praktik pelanggaran kecil yang berdampak besar.
Catatan Hak Cipta, Silakan menyalin atau mengutip artikel ini dengan mencantumkan sumber asli https://JurnalLugas.com
Dilarang menyalin tanpa menyertakan link sumber. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi Hukum.
Birokrasi Harus Bersih dari Korupsi
Pemerintahan yang bersih tidak akan lahir dari sistem yang takut diawasi. Ia hanya tumbuh dari budaya yang menghargai transparansi. Setiap warga negara memiliki peran dalam menjaga agar birokrasi tetap bersih dari korupsi: tidak memberi, tidak menerima, dan berani menolak.
Seorang pejabat senior pernah berkata, “Negara yang baik bukan karena pejabatnya kaya, tapi karena rakyatnya percaya bahwa kejujuran masih dihargai.” Kalimat sederhana itu menggambarkan betapa pentingnya kepercayaan publik dalam menopang pemerintahan. Tanpa kepercayaan, negara hanya menjadi gedung megah dengan fondasi rapuh.
Jika pelicin menjadi budaya, maka pemerintahan akan kehilangan jati diri. Bukan efisiensi yang tumbuh, melainkan ketimpangan dan ketidakadilan. Namun jika anti-pelicin menjadi kebiasaan baru, maka jalan menuju reformasi sejati terbuka lebar. Reformasi birokrasi bukan hanya soal teknologi, melainkan soal moralitas. Digitalisasi bisa mempercepat, tapi kejujuranlah yang menegakkan.
Membangun negara bersih memang tidak mudah. Tapi sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani memulai perubahan dari hal kecil. Menolak pelicin adalah langkah kecil dengan dampak besar bukan sekadar menolak amplop, melainkan menjaga martabat bangsa.
Untuk menuju birokrasi yang berintegritas, dibutuhkan keberanian kolektif: keberanian pejabat untuk melayani tanpa pamrih, keberanian rakyat untuk tidak menyogok, dan keberanian sistem untuk menghukum tanpa pandang bulu. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa keluar dari lingkaran budaya pelicin yang menjerat selama puluhan tahun.
Keadilan tidak butuh uang pelicin untuk berjalan, yang dibutuhkan hanya keberanian untuk berkata: “Cukup sudah.”
Bandar Lampung: Sabtu 25 Oktober 2025.
Editor : Meli Eprianti S.H.
Author : RCN.
Tidak ada komentar