RadarCyberNusantara.id | Pendidikan adalah fondasi utama dalam membentuk karakter dan masa depan sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan nasional dirancang untuk menciptakan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Namun, kebijakan kontroversial yang baru-baru ini diambil oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yakni mengirim sejumlah anak ke barak militer, menimbulkan keprihatinan serius. Salah satu akademisi yang mengkritisi langkah ini adalah Dr. Iswadi, M.Pd., yang menyebut kebijakan tersebut sebagai bukti nyata bahwa pendidikan kita telah kehilangan arah.
Menurut Dr. Iswadi, keputusan mengirim anak-anak ke lingkungan militer untuk “dididik” adalah bentuk kegagalan sistemik dalam memahami esensi pendidikan. Pendidikan seharusnya berlangsung dalam lingkungan yang humanis, dialogis, dan penuh empati. Justru ketika pendekatan militeristik diadopsi, terutama terhadap anak-anak, maka yang terjadi adalah represi nilai-nilai kemanusiaan dan potensi kreativitas anak.
“Ini bukan solusi, tapi pelarian. Mengirim anak ke barak militer tidak menjawab akar masalah dari kenakalan atau disorientasi mereka. Sebaliknya, itu adalah refleksi bahwa kita telah menyerah pada tugas mulia mendidik dengan cinta dan pendekatan pedagogis,Hal tersebut disampaikan nya kepada wartawan Melalui pesan WhatsApp,, Senin 5 Mei 2025
Pendiri Organisasi Pejuang Pendidikan Indonesia tersebut Mengatakan Dalam sistem militer, kedisiplinan memang menjadi nilai utama. Namun, pendekatan militer tidak dirancang untuk mendidik anak-anak dengan latar belakang sosial yang kompleks. Anak-anak bukanlah tentara yang siap dibentuk dengan pola komando dan hukuman. Mereka adalah individu yang membutuhkan pemahaman, kasih sayang, dan ruang untuk tumbuh secara psikologis, intelektual, dan emosional.
Dr. Iswadi menyoroti bahwa tindakan Dedi Mulyadi ini mencerminkan kemunduran dalam paradigma pendidikan. Alih-alih membangun sistem pendidikan yang inklusif dan solutif, kita justru mengandalkan jalan pintas yang tidak berkelanjutan. Anak-anak yang dianggap bermasalah tidak diajak berdialog atau dipahami akar masalahnya, melainkan dipindahkan ke lingkungan yang keras dan jauh dari nilai-nilai pedagogi.
Lebih jauh lagi, pendekatan seperti ini berpotensi merusak psikologi anak. Banyak penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa paparan terhadap lingkungan otoriter yang ekstrem dapat mengganggu perkembangan emosi, mengikis rasa percaya diri, dan menimbulkan trauma jangka panjang. Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak, bukan medan tempur disiplin tanpa pemahaman.
Dr. Iswadi juga mengingatkan bahwa pendidikan bukan hanya soal kedisiplinan. Ia menekankan pentingnya peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam membangun ekosistem pendidikan yang sehat. Ketika ada anak-anak yang kehilangan arah, maka semua pihak perlu introspeksi: apakah sistem kita sudah cukup memberikan ruang, perhatian, dan dukungan?
“Kita tidak bisa menyalahkan anak-anak sepenuhnya. Mereka adalah produk dari lingkungan dan sistem yang kita bangun bersama. Maka tanggung jawabnya juga kolektif. Bukan diserahkan kepada militer yang tidak memiliki kompetensi pedagogik,” tegasnya.
Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut mengatakan hal seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi para pengambil kebijakan. Negara tidak boleh lepas tangan terhadap permasalahan pendidikan anak dengan melemparkannya ke institusi lain yang tidak relevan. Alih-alih mengadopsi pendekatan represif, seharusnya negara memperkuat sistem bimbingan dan konseling di sekolah, menyediakan pendidikan karakter yang aplikatif, serta melatih guru dan tenaga pendidik untuk menangani anak-anak dengan pendekatan yang tepat.
Kebijakan Dedi Mulyadi, betapapun berniat baik untuk “menyelamatkan anak-anak,” tetap tidak dapat dibenarkan secara etik maupun pedagogik. Ini bukan solusi jangka panjang, bahkan bisa menjadi preseden buruk bahwa pendekatan kekerasan dapat digunakan sebagai metode pendidikan. Jika ini dibiarkan, maka arah pendidikan kita benar-benar akan tersesat.
Dr. Iswadi menutup kritiknya dengan pernyataan bahwa reformasi pendidikan bukan soal pencitraan atau eksperimen sosial terhadap anak-anak. Ini adalah tanggung jawab serius yang harus diemban oleh mereka yang benar-benar paham pendidikan, bukan sekadar politisi atau tokoh publik yang mencari sensasi. Pendidikan adalah jalan panjang menuju peradaban, dan setiap langkah keliru bisa berdampak pada generasi masa depan.
|Red