RadarCyberNusantara.Id |
Oleh : Pinnur Selalau
“Kami tidak sedang mewajibkan anak-anak Indonesia minum susu. Tapi izinkan kami bercerita… agar Anda bisa melihatnya sendiri” Kalimat ini terasa lebih tepat daripada ajakan atau imbauan. Ia tidak mengatur, tidak memerintah. Ia hanya mengajak untuk mendengarkan kisah. Salah satunya datang dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), seorang yang sehari-hari mengurus angka-angka stunting, data asupan gizi, dan grafik pertumbuhan. Tapi hari itu, ia melepaskan semua statistik. Ia hanya ingin bercerita sebagai seorang ayah.
Dengan suara hangat, ia berkata, “Anak saya dari kecil dibiasakan minum susu setiap hari. Bahkan yang bungsu bisa menghabiskan dua liter dalam sehari. Sekarang tingginya 185 cm” Tidak ada promosi produk, tidak ada pesan tersirat selain cinta. Hanya kisah makan malam di rumah, yang tanpa disangka ternyata menyimpan hikmah jauh lebih besar.
Anak bungsunya lahir mungil, hanya 2,7 kilogram dan panjang 47 cm — jauh dibanding kakaknya yang lebih besar saat lahir. Namun siapa sangka, si bungsu tumbuh menjulang. Sejak bayi, ia bangun tiap dua jam sekali hanya untuk minum susu. Setiap malam, keluarga menyiapkan enam botol ukuran 300 ml agar kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Mereka tidak sedang mengejar tinggi badan, tapi membentuk kebiasaan baik sejak dini. Seperti tanaman yang disiram dengan telaten, pertumbuhannya tidak bisa dibohongi. Sang ayah menambahkan, “Kami tidak membaca teori ini dari jurnal. Kami hanya meneruskan tradisi ibu kami dulu, yang selalu menyiapkan segelas susu tiap pagi”
Bukankah banyak dari kita tumbuh dalam kebiasaan yang serupa? Segelas susu menjadi pelengkap pagi, penanda perhatian dari ibu atau nenek kita. Dan ternyata, perhatian kecil itu menyimpan kekuatan besar. Susu bukan sekadar minuman, tapi simbol kasih sayang yang berbuah kesehatan.
Lebih dari itu, jauh sebelum ilmu gizi mengenal istilah protein, kalsium, atau vitamin D, Al-Qur’an telah menyebut susu sebagai tanda kebesaran penciptaan. Dalam Surat An-Nahl ayat 66, Allah berfirman:
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةًۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنۢ بَيْنِ فَرْثٍۢ وَدَمٍۢ لَّبَنًۭا خَالِصًۭا سَآئِغًۭا لِّلشَّـٰرِبِينَ
“Dan sesungguhnya pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagimu. Kami memberi kalian minum dari apa yang berada dalam perutnya, (berasal) dari antara kotoran dan darah, susu yang bersih dan mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”. (QS. An-Nahl: 66)
Begitu juga dalam Surat Al-Mu’minun ayat 21, Allah berfirman:
وَإِنَّ لَكُمْ فِى ٱلْأَنْعَـٰمِ لَعِبْرَةًۭ ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِى بُطُونِهَا وَلَكُمْ فِيهَا مَنَـٰفِعُ كَثِيرَةٌۭ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
“Dan sesungguhnya pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagimu. Kami memberi kalian minum dari apa yang berada dalam perutnya, dan pada mereka terdapat berbagai manfaat untuk kalian, dan sebagian darinya kalian makan”. (QS. Al-Mu’minun: 21)
Susu, yang keluar dari sistem tubuh hewan ternak, bukanlah sesuatu yang sederhana. Ia muncul dari proses rumit dan ajaib — antara darah dan kotoran — tapi hasil akhirnya bersih, murni, dan bergizi. Itulah mengapa, bahkan dalam deskripsi surga, Allah menyebut adanya sungai dari susu yang tidak berubah rasa.
Melihat itu, kita bisa mengerti bahwa narasi gizi tidak seharusnya disampaikan dengan cara yang kaku atau membebani. Dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang berjalan, misalnya, susu memang menjadi salah satu pilihan sumber protein hewani. Tapi tidak ada kewajiban. Jika susu sulit diakses, bisa digantikan dengan telur, tahu, tempe, sayur hijau, ikan bertulang lunak, atau susu nabati yang difortifikasi. Semua ini diberikan dengan prinsip keberagaman dan keseimbangan gizi, bukan simbol gaya hidup tertentu.
Jadi, saat ada kisah tentang anak yang sehat dan tinggi karena minum susu, bukan berarti semua anak harus minum dua liter setiap hari. Yang ingin ditunjukkan adalah bahwa kebiasaan baik, jika dijaga terus, mampu memberikan dampak luar biasa. Bahwa asupan harian jauh lebih penting daripada sesekali makan mewah. Dan yang paling utama, keluarga adalah garda terdepan — jauh lebih penting daripada program nasional manapun.
Ada sebagian yang bertanya, “Apakah sekarang semua anak harus minum susu?” Jawabannya jelas: tidak. Tapi semua anak Indonesia harus cukup gizi. Susu hanyalah satu jalan dari sekian banyak. Bila anak tidak suka susu, itu bukan masalah besar. Asalkan kebutuhan gizinya tidak terabaikan. Carilah sumber lain, yang lebih sesuai, lebih terjangkau, lebih disukai. Karena yang sedang kita perjuangkan bukan soal minuman, tapi masa depan.
Cerita Kepala BGN ini memang hanya satu dari sekian banyak kisah. Tapi ia bisa jadi cermin sederhana, bahwa dengan perhatian, konsistensi, dan kasih sayang, anak-anak kita bisa tumbuh lebih dari yang kita bayangkan. Ia tidak menyuruh, hanya memberi contoh. Ia tidak memaksa, hanya menunjukkan hasil. Ia tidak menggurui, hanya membuka ruang percakapan. Dan kita, para orang tua, para guru, para tetangga, punya ruang besar untuk terlibat.
Karena pada akhirnya, yang ingin kami lakukan bukanlah menyuruh. Kami hanya ingin menginspirasi. Membuka mata bahwa tubuh anak tidak bisa menunggu. Bahwa tumbuh sehat bukan soal mahal atau tidak, tapi soal sadar atau tidak. Dan bahwa setiap keluarga punya cara berbeda untuk melakukannya.
Hari ini, kita bicara soal susu. Tapi sesungguhnya, kita sedang bicara tentang masa depan generasi Indonesia. Dan semoga dengan cerita ini, kita semua semakin sadar bahwa kesehatan anak-anak bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga bentuk cinta kita sebagai orang tua, tetangga, dan sesama warga bangsa.
Bandar Lampung: 30 Mei 2025.