Koperasi Desa Merah Putih: Mengharap Berkah, Menuai Musibah?

waktu baca 4 menit
Rabu, 8 Okt 2025 19:27 18 Admin RCN

OPINI | Dalam beberapa bulan terakhir, perhatian publik tersita oleh berbagai problem yang muncul akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program prioritas nasional yang ambisius dan berbiaya besar itu ternyata menimbulkan banyak masalah di lapangan. Berbagai kalangan pun menyerukan agar program tersebut dievaluasi total, bahkan dihentikan sementara.

Namun, di balik kegaduhan MBG, ada bom waktu lain yang seolah sedang dirakit diam-diam. Berbeda dengan MBG dimana permasalahan muncul perlahan, bom waktu ini berdetak tanpa suara. Ketika saatnya tiba, ia bisa meledak mengakibatkan masalah yang jauh lebih besar dari MBG.

Program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), meski diklaim lahir dari niat mulia untuk memperkuat ekonomi rakyat, justru menyimpan potensi bahaya besar. Perencanaan yang lemah, pelaksanaan yang terburu-buru, dan alokasi dana yang fantastis bisa menciptakan turbulensi ekonomi-politik dalam satu atau dua tahun mendatang.

Minim Partisipasi, Nihil Teknokrasi

Kemunculan KDMP begitu tiba-tiba. Ia tidak pernah secara jelas disebut dalam visi-misi capres, tak muncul dalam debat publik, dan tanpa melalui proses teknokratis yang memadai. Tiba-tiba pemerintah mengumumkan rencana pembentukan KDMP di 80.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.

Instruksi Presiden dan peraturan pelaksana pun seolah turun dari langit—tanpa partisipasi masyarakat desa yang menjadi subjek utama program. Proses rekrutmen pengurus berjalan tertutup dan tergesa, tanpa seleksi terbuka. Akibatnya, warga desa terkesan tidak merasa memiliki koperasi yang justru digadang-gadang untuk membantu perekonomian mereka.

Lebih jauh, Rp3 miliar dana jumbo per koperasi akan disalurkan melalui bank-bank Himbara. Sulit membayangkan bagaimana analisis kelayakan kredit yang objektif dijalankan. KDMP tidak memiliki rekam jejak usaha bahkan rencana bisnis yang jelas. Jika kredit tetap dikucurkan, besar kemungkinan bukan karena kelayakan keuangan, melainkan karena perintah penguasa dan jaminan Dana Desa—yang nilainya mencapai Rp240 triliun.

Tanpa studi kelayakan yang solid, kita tidak tahu seberapa besar dampak ekonomi program ini, dan apakah manfaatnya sepadan dengan dana publik yang dialokasikan. Apalagi KDMP akan bergerak di sektor yang sudah dijalankan koperasi dan warung rakyat seperti penyaluran pupuk, gas elpiji, dan kebutuhan pokok. Alih-alih memperkuat ekonomi desa, KDMP justru berpotensi mematikan pelaku ekonomi lokal yang sudah ada.

Berisiko Gagal dan Picu Kemarahan

Seperti pepatah, ada gula ada semut. Dana triliunan rupiah tentu menarik banyak pihak untuk bergabung, sayangnya sebagian besar bukan pelaku usaha yang visioner dan berjiwa wirausaha, melainkan pencari posisi dan penghasilan tetap. Padahal, tanpa semangat kewirausahaan, koperasi hanya akan menjadi institusi yang pasif tanpa daya hidup.

Jika berkaca pada pengalaman BUMDes, yang dibangun secara partisipatif dan bertahap saja, hanya 6,6% yang layak dikategorikan maju atau berhasil (Kemendes PDTT, 2023); bahkan ukuran lain menunjukkan angka yang lebih rendah, yaitu 3,0% saja. Dengan pendekatan yang sentralistis dan minim perencanaan, tingkat keberhasilan KDMP kemungkinan besar jauh lebih rendah.

Masalah serius akan muncul saat sebagian besar KDMP kolaps dalam 1–2 tahun mendatang. Dana Rp3 miliar habis untuk investasi, operasional, dan gaji; bahkan mungkin tersedot oleh aktivitas koruptif. Bank Himbara pun kemudian menarik Dana Desa yang dijaminkan. Puluhan ribu desa bisa kehilangan mata air ekonominya. Jika itu terjadi, bom waktu pun meledak –kemarahan publik sulit dihindari.

Gejolak sosial bukanlah kemungkinan yang bisa dianggap enteng. Demo warga Pati beberapa waktu lalu akibat kenaikan PBB saja cukup mengguncang stabilitas politik. Bayangkan jika kekecewaan serupa terjadi serentak di seluruh Indonesia.

Rekalibrasi dan Desain Ulang

Ekonomi Indonesia sedang tidak sehat, daya beli rakyat sedang merosot, kondisi fiskal menantang dan situasi moneter serba tidak pasti. Satu kesalahan kebijakan bisa membawa konsekuensi panjang dan berat. Karena itu, konsep KDMP perlu direkalibrasi sebelum dilaksanakan. Program sebesar ini hanya layak dijalankan setelah melalui kajian menyeluruh, uji coba bertahap, dan pelibatan masyarakat sejak awal. Koperasi yang ada perlu diajak untuk bertransformasi menjadi KDMP. Aktivitas ekonomi masyarakat eksisting perlu dijadikan bagian dari rantai bisnisnya. Lalu, sebisa mungkin KDMP menjalankan usaha di area yang selama ini bukan merupakan lahan penghidupan masyarakat desa. Pemerintah tidak perlu terburu-buru—Presiden masih memiliki cukup waktu, empat bahkan sembilan tahun ke depan, untuk menorehkan kebijakan yang berkelanjutan dan warisan kesejahteraan umum. Jangan sampai hanya karena grasah-grusuh, niat hati mendapat berkah tetapi justru menuai musibah.

Penulis : Pinnur Selalau.
Editor : Meli Eprianti S.H.
Author : RCN.

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
error: Content is protected !!