Penulis : Pinnur Selalau.
KORUPSI di Lampung bukan lagi sekadar tindak kejahatan, melainkan fenomena yang sudah seperti budaya—mengakar, berkembang, dan semakin sulit diberantas. Dulu, korupsi mungkin hanya terjadi dalam lingkup terbatas, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan masih ada rasa malu ketika tertangkap. Namun, sekarang? Korupsi semakin terang-terangan, jumlahnya makin gila, dan pelakunya sering kali tetap hidup nyaman meski sudah dihukum.
Dari proyek infrastruktur hingga bansos, dari pendidikan hingga kesehatan, hampir tidak ada sektor yang bebas dari praktik ini. Jika dulu kita mendengar kasus pejabat korupsi ratusan juta dan menganggap itu sudah luar biasa, sekarang angka miliaran bahkan ratusan triliun bukan lagi hal yang mengejutkan. Seakan-akan ada pola, semakin lama, semakin besar.
Apa yang menyebabkan fenomena ini terus berkembang? Apakah ini murni soal kerakusan manusia? Atau ada faktor lain, seperti sistem yang memang memungkinkan korupsi terjadi tanpa risiko besar? Kenapa justru makin banyak koruptor yang tidak lagi merasa bersalah, bahkan tetap dihormati di masyarakat?
Artikel ini akan membedah berbagai aspek yang membuat korupsi di Lampung semakin tidak terkendali. Kita akan melihat bagaimana korupsi sudah merajalela di semua sektor, bagaimana nilainya terus meningkat, bagaimana logika hukum justru memberi celah bagi para pelaku, hingga bagaimana mereka bisa tetap hidup tenang setelah menguras uang negara. Mari kita telusuri satu per satu.
1.Korupsi sudah di Semua Sektor
Dulu, kita mungkin hanya mendengar kasus korupsi di sektor politik dan pemerintahan. Tapi sekarang? Dari proyek infrastruktur, bansos, pendidikan, kesehatan, hingga keagamaan, semua sektor tidak ada yang steril. Hampir setiap aspek kehidupan rakyat bisa dijadikan “ladang” korupsi. Bahkan, ada istilah bahwa kalau mau bisnis lancar, “siapkan uang pelicin.” Artinya, sistemnya sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga korupsi menjadi bagian dari mekanisme kerja.
Kita bisa melihat bagaimana korupsi sudah begitu melekat dalam berbagai sektor:
• Infrastruktur: Proyek-proyek pembangunan jalan, jembatan, hingga gedung pemerintahan sering kali menjadi ajang bancakan anggaran. Modusnya beragam, mulai dari mark-up harga material, penggunaan bahan berkualitas rendah, hingga pengurangan volume pekerjaan. Tidak heran banyak proyek yang baru selesai sudah rusak.
• Bansos (Bantuan Sosial): Ketika pandemi melanda, bantuan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin malah dijadikan lahan korupsi. Mulai dari pemotongan jumlah bantuan, manipulasi data penerima, hingga permainan pengadaan barang yang harganya digelembungkan. Bahkan, ada kasus di mana bantuan beras yang diterima masyarakat sudah kedaluwarsa.
• Pendidikan: Korupsi di dunia pendidikan lebih halus, tapi dampaknya luar biasa. Pengadaan buku dan alat belajar sering kali dimainkan oleh oknum yang ingin mengambil keuntungan. Tidak sedikit dana BOS yang bocor di tingkat sekolah. Bahkan, untuk bisa masuk ke sekolah atau universitas tertentu, masih ada praktik suap yang merajalela.
• Kesehatan: Sektor ini juga tidak luput dari korupsi. Mulai dari pengadaan alat kesehatan yang tidak sesuai spesifikasi, proyek rumah sakit yang mangkrak, hingga obat-obatan yang harganya dimark-up. Akibatnya, layanan kesehatan yang seharusnya menyelamatkan rakyat justru menjadi sumber penderitaan karena kualitasnya buruk atau biayanya melambung tinggi.
• Keagamaan: Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi pusat moralitas pun tidak steril dari korupsi. Kasus korupsi dana LPTQ, pemotongan dana bantuan rumah ibadah, hingga permainan anggaran di lembaga keagamaan menunjukkan bahwa bahkan nilai-nilai religius pun bisa dikompromikan demi kepentingan pribadi.
Korupsi di semua sektor ini menunjukkan bahwa masalahnya sudah sistemik. Tidak sekadar dilakukan oleh individu, tetapi sudah menjadi “aturan tidak tertulis” yang dijalankan oleh banyak pihak. Bahkan, di beberapa instansi, seseorang yang tidak ikut bermain justru dianggap aneh atau bisa dikucilkan.
Lebih parahnya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh pejabat tinggi, tetapi juga merata di berbagai tingkatan. Dari level Provinsi hingga Kabupaten, bahkan ke tingkat Desa, dari pejabat besar hingga pegawai kecil, semuanya punya “jatah” dalam mekanisme ini. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban, karena dana yang seharusnya untuk kepentingan umum malah masuk ke kantong pribadi.
Jika dibiarkan terus, korupsi bukan hanya menghancurkan ekonomi Daerah, tetapi juga membentuk mentalitas generasi mendatang bahwa mencari uang dengan cara curang itu sah-sah saja. Inilah tantangan besar yang harus dihadapi jika Lampung ingin keluar dari krisis moral yang semakin dalam.
2. Angka Korupsi Makin Gila
Jika kita lihat pola kasus korupsi dari tahun ke tahun, jumlahnya seperti mengikuti pola inflasi. Dulu, kita kaget ketika mendengar ada pejabat yang korupsi ratusan juta. Kemudian angka itu naik ke miliaran, lalu puluhan miliar, dan sekarang angka ratusan miliar sudah bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Seperti ada pola bahwa makin lama korupsi makin besar. Apakah ini karena nilai uang yang turun? Atau justru karena kerakusan manusia yang meningkat?
Faktanya, korupsi yang terjadi saat ini tidak lagi sebatas mengisi kantong pribadi, tetapi sudah melibatkan jaringan yang lebih luas—kelompok, keluarga, bahkan lintas sektor. Modusnya semakin canggih, dari permainan anggaran hingga pencucian uang melalui investasi bisnis.
Mengapa Angka Korupsi Semakin Gila?
1. Skala Proyek yang Semakin Besar
Saat ini, proyek-proyek pemerintah melibatkan anggaran yang sangat besar, terutama di sektor infrastruktur, energi, dan Pendidikan serta Kesehatan. Dengan anggaran yang triliunan rupiah, peluang untuk “memotong” dana pun semakin besar. Jika dulu korupsi hanya terjadi pada proyek kecil-kecilan, sekarang sudah masuk ke proyek besar yang melibatkan banyak pihak.
2. Korupsi Kolektif yang Terorganisir
• Korupsi kini bukan lagi dilakukan individu, tetapi menjadi tindakan kolektif yang melibatkan banyak aktor: pejabat, pengusaha, hingga oknum aparat penegak hukum. Sistem “bagi-bagi kue” ini membuat korupsi semakin sulit diungkap karena semua pihak terlibat dan saling melindungi.
• Hukuman yang Tidak Memberikan Efek Jera
Banyak koruptor yang tertangkap, tetapi hukumannya relatif ringan dibandingkan dengan kerugian yang mereka timbulkan. Bahkan, beberapa di antaranya bisa mendapatkan fasilitas mewah di penjara, remisi, dan pembebasan bersyarat. Akibatnya, korupsi tidak lagi dianggap sebagai risiko besar. Para pelaku berpikir, “Kalau tertangkap, paling dihukum sebentar, keluar tetap kaya.”
• Mentalitas “Sekali Korupsi, Harus Maksimal”
Seperti yang sering dikatakan, korupsi sedikit atau banyak hukumannya sama. Maka, banyak pelaku yang berpikir, “Kalau mau korupsi, sekalian besar!” Mereka tahu bahwa dalam sistem yang masih bisa dinegosiasikan, mengambil sedikit atau banyak tetap berisiko, jadi lebih baik ambil sebesar mungkin agar kalau tertangkap, mereka sudah memiliki cukup uang untuk menyuap, menyelamatkan keluarga, atau bernegosiasi dengan hukum.
• Minimnya informasi kepada publik terkait pengelolaan dan penggunaan anggaran negara yang bersumber dari APBN maupun APBD.
Jika ada masyarakat yang ingin mengetahui pengelolaan dan penggunaan anggaran negara, mereka menjawab tidak memenuhi syarat formil untuk mengetahui hal itu, sehingga peluang untuk menutupi prilaku korupsi semakin kuat. Padahal seluruh rakyat berhak tahu terhadap pengelolaan dan penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN maupun APBD sebagai bentuk kontribusi sekaligus pengawasan.
Dampaknya: Negara dan Rakyat yang Menanggung Beban
Angka korupsi yang semakin besar bukan sekadar soal nominal uang yang hilang, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas publik, meningkatkan kualitas pendidikan, dan memberikan layanan kesehatan malah raib ke tangan segelintir orang. Akibatnya:
• Jalan-jalan cepat rusak karena anggaran infrastruktur dikorupsi.
• Fasilitas kesehatan buruk karena dana pengadaan alat medis dimanipulasi.
• Harga kebutuhan pokok naik karena mafia pangan bermain dengan kebijakan yang tidak pro rakyat.
• Biaya pendidikan semakin mahal karena dana bantuan dipotong di berbagai tingkat.
Semakin besar angka korupsi, semakin besar pula beban yang ditanggung oleh rakyat kecil. Maka, jika tren ini tidak dihentikan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti kita akan melihat kasus korupsi di Lampung yang nominalnya mencapai triliunan, dan pada saat itu, mungkin rakyat sudah benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap Pemerintah.
Jadi, apakah kita akan terus membiarkan korupsi berkembang seperti ini? Ataukah kita akan menuntut perubahan nyata sebelum segalanya semakin terlambat?
3. Logika “Sekalian Aja Banyak, Toh Hukuman Sama”
Banyak koruptor mungkin berpikir, “Ngapain korupsi sedikit, kalau bisa banyak?” Hukuman bagi koruptor sering kali tidak jauh berbeda, baik yang mencuri puluhan juta maupun yang merampok puluhan atau ratusan miliar. Ditambah dengan sistem hukum yang masih bisa diakali, para pelaku merasa aman. Kalau tertangkap, toh masih bisa nego hukuman, mendapat remisi, atau bahkan bebas bersyarat lebih cepat. Jadi, wajar jika ada yang berpikir, “Kalau bisa korupsi besar, kenapa harus setengah-setengah?”
Mengapa Pola Pikir Ini Terjadi?
1. Hukuman Tidak Sebanding dengan Kerugian Negara.
Coba bandingkan dengan pencuri ayam atau perampok warung kecil yang bisa dihukum bertahun-tahun di penjara. Sementara itu, seorang pejabat yang menggelapkan dana proyek puluhan bahkan ratusan miliar rupiah bisa saja hanya dihukum beberapa tahun dan masih mendapat fasilitas istimewa di dalam tahanan. Dalam banyak kasus, koruptor kelas kakap tidak benar-benar kehilangan semuanya—aset yang tersembunyi masih bisa dinikmati setelah bebas.
2. Negosiasi Hukum yang Memungkinkan Koruptor ‘Bermain’
• Banyak kasus korupsi yang tidak diusut tuntas. Ketika ada pejabat yang tertangkap, proses hukumnya bisa dinegosiasikan. Uang hasil korupsi digunakan untuk menyuap aparat hukum, mengatur saksi, atau bahkan membayar pengacara kelas atas yang bisa mencari celah hukum. Akibatnya, banyak koruptor yang hukumannya jauh lebih ringan dibandingkan dengan besarnya kejahatan yang mereka lakukan.
• Sistem Remisi dan Pembebasan Bersyarat yang Memanjakan Koruptor
Salah satu hal yang membuat para koruptor merasa aman adalah adanya sistem remisi dan pembebasan bersyarat. Seorang koruptor yang divonis 10 tahun bisa saja bebas dalam waktu 5 tahun atau kurang. Bahkan, ada yang bisa menikmati fasilitas lebih di dalam tahanan—mulai dari sel mewah hingga akses komunikasi yang bebas. Dengan kondisi seperti ini, hukuman tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka.
• Korupsi Sebagai Investasi Masa Depan
Beberapa koruptor berpikir bahwa hasil kejahatan mereka bisa diwariskan kepada keluarga. Ini bukan sekadar mencari kekayaan untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menjamin kehidupan anak cucu. Mereka paham bahwa risiko hukuman tetap ada, tetapi dengan uang yang cukup besar, mereka bisa membeli jalan keluar atau setidaknya memastikan keluarga mereka tetap hidup nyaman meski mereka dipenjara.
Jadi, sampai kapan kita membiarkan ini terus terjadi? Apakah kita akan terus menjadi rakyat yang kompromistis terhadap korupsi, atau kita akan mulai bergerak untuk menghentikannya? Jawabannya ada pada kita semua. (**)
Tidak ada komentar