RadarCyberNusantara.id | Desakan untuk mengukur ulang lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Sugar Group Companies (SGC) di Lampung kembali mencuat ke permukaan. Komisi II DPR RI, melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Kompleks Parlemen, Selasa (15/7/2025), telah merekomendasikan pengukuran ulang sebagai langkah untuk menjawab tumpang tindih data antar lembaga serta sebagai dasar penyelesaian konflik agraria di sejumlah wilayah Lampung.
Namun, langkah tersebut menuai sorotan tajam dari Laskar Lampung Indonesia (LLI). Ketua Umum LLI, Panglima Nero Koenang, menegaskan bahwa proses ukur ulang tidak bisa dilakukan secara sembarangan tanpa dasar hukum yang kuat.
“Pengukuran ulang lahan HGU seperti milik SGC tidak bisa dilakukan atas dasar desakan politik atau opini publik semata. Itu harus tunduk pada prosedur hukum,” tegas Nero, Rabu (16/7/2025), saat dikonfirmasi di Bandar Lampung.
Ia menjelaskan bahwa pengukuran ulang lahan bersertifikat HGU hanya dapat dilaksanakan dalam dua kondisi utama yang sah secara hukum.
“Pertama, harus ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kedua, bisa dilakukan jika ada permintaan resmi dari pemegang hak HGU itu sendiri, dalam hal ini pihak perusahaan. Di luar dua mekanisme itu, tidak bisa. Karena menyangkut hak atas tanah yang dilindungi Undang-Undang,” tegasnya.
Lebih lanjut, Nero menyampaikan bahwa Laskar Lampung Indonesia tidak menolak adanya upaya penyelesaian konflik agraria. Namun, ia memperingatkan agar jangan sampai isu ukur ulang ini dijadikan alat tekanan politik oleh pihak-pihak yang punya kepentingan terselubung.
“Kami mendukung penyelesaian konflik tanah, tetapi jalannya harus benar. Jangan sampai rakyat jadi korban hanya karena pengambilan keputusan yang serampangan. Ukur ulang itu harus objektif, sah secara hukum, dan tidak boleh dijalankan oleh lembaga yang tidak punya kewenangan,” tambah Nero.
Desakan untuk pengukuran ulang menguat setelah terungkapnya ketidaksesuaian data antara instansi-instansi negara seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, dan data internal perusahaan terkait luas dan batas wilayah HGU PT SGC. Ketidaksesuaian inilah yang selama ini menjadi sumber konflik antara warga dengan perusahaan di berbagai titik di Provinsi Lampung.
Namun publik pun tak lupa bahwa upaya serupa pernah digagas pada era Bupati Tulangbawang Abdurahman Sarbini, namun akhirnya gagal total. Penyebabnya, antara lain ketidaksiapan lembaga pelaksana, konflik kepentingan, serta tidak adanya legitimasi hukum yang kuat atas pengukuran ulang tersebut.
Kini, meski suara publik dan dukungan politik dari DPR RI semakin kencang, Laskar Lampung mengingatkan agar pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan tidak mengulang kesalahan masa lalu.
“Kami akan terus mengawal proses ini. Kalau ada keputusan pengadilan, kami akan hormati. Tapi kalau hanya berdasar wacana atau tekanan massa, itu tidak bisa dibenarkan. HGU itu hak hukum yang diakui negara, penyelesaiannya juga harus lewat jalur hukum, bukan massa,” pungkas Panglima Nero Koenang.
Sampai saat ini belum ada kepastian lembaga mana yang akan diberi mandat untuk melakukan pengukuran ulang tersebut. Situasi ini menempatkan konflik agraria di Lampung dalam dilema antara tuntutan keadilan agraria dan kepastian hukum atas hak kepemilikan tanah.
|Red