Oleh: Pinnur Selalau.
Kekerasan/ Pelecehan seksual atau Pencabulan di sekolah masih marak. Sekolah harus jadi ruang aman bagi siswa yang tengah menyongsong masa depan.
Kasus kekerasan, pelecehan seksual dan pencabulan yang dialami siswa di sekolah beberapa waktu yang lalu membuat kita terhenyak. Sekolah belum menjadi ruang aman bagi siswa.
Fakta ini semakin membuka mata kita bahwa predator seksual yang beraksi di lembaga pendidikan menjadi ancaman bagi semua siswa.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) ataupun Kementerian Agama telah Berkomitmen kuat untuk menghapus kekerasan/pelecehan seksual di satuan pendidikan yang masih kerap terjadi. Sejumlah Program telah dicanangkan untuk mewujudkan ruang yang aman di sekolah. Baik itu Sekolah Ramah Anak, maupun Pesantren Ramah Anak.
Demikian juga peraturan-peraturan terus diperbaharui agar lebih efektif. Peraturan Mendikbudristek nomor 46 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan dilingkungan satuan pendidikan menjadi peraturan terbaru untuk mencegah dan menangani kekerasan/pelecehan seksual, pencabulan, perundungan, diskriminasi, dan Intoleransi dilingkungan pendidikan.
Kemudian di Kemenag, ada peraturan Menteri Agama nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, serta keputusan Menteri Agama nomor 3 Tahun 2023 tentang pedoman penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama.
Namun bukannya berkurang, kasus-kasus yang mengemuka ke publik tetap banyak, bahkan meningkat. Paling tidak kita bisa berkaca pada kasus yang terjadi baru-baru ini terjadi di salah satu lembaga pendidikan IsIam di Kota Bandar Lampung.
Dari kasus tersebut bisa jadi merupakan fenomena gunung es, demikian kasus yang menimpa puluhan bahkan mungkin ratusan siswa akhir-akhir ini. Salah satunya karena kekerasan/pelecehan seksual di lembaga Pendidikan umumnya merupakan fenomena relasi kuasa sehingga tidak sedikit korban, yang posisinya Subordinat, tidak melaporkan kasusnya karena takut terhadap pelaku, yang posisinya Dominan. Alasan lainnya menjaga nama baik Sekolah.
Faktor-faktor tersebut membuat kasus kekerasan/pelecehan seksual di lembaga pendidikan tidak selalu terungkap. Apalagi jika kasusnya terjadi di lembaga Pendidikan yang menerapkan sistem Asrama seperti yang banyak diterapkan di lembaga Pendidikan Keagamaan.
Dalam kasus yang menimpa siswa sebuah yayasan pendidikan keagamaan kelas IV SD di Bandar Lampung baru-baru ini, merupakan bukti bahwa belum amannya rumah pendidikan bagi peserta didik.
Menjadi tantangan tersendiri mencegah kasus kekerasan, pelecehan, pencabulan seksual di Sekolah, terutama di lembaga pendidikan Keagamaan. Struktur relasi yang sangat Dominatif antara guru Agama dan Siswa, juga konstruksi patriarkal lembaga Pendidikan Keagamaan, sering kali membuat kasus kekerasan seksual yang terjadi sulit terungkap.
Bagi siswa yang menjadi korban ataupun keluarganya, sering kali tak mudah ketika berhadapan dengan dengan pelaku yang merupakan Guru Agama atau pemimpin Lembaga Pendidikan. Guru Agama ataupun Pemimpin/Pengasuh lembaga pendidikan keagamaan dipandang memiliki kuasa Otoritas Keilmuan dan juga merupakan tokoh atau pejabat publik.
Karena itu, selain penegakkan aturan, transparansi penyelenggaraan pendidikan dan optimalisasi pengawasan oleh pemangku kepentingan terkait, menjadi langkah prioritas untuk mencegah kekerasan, pelecehan seksual dan pencabulan di lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan keagamaan. Peraturan-peraturan yang dibuat pun hanya akan menjadi macan ompong tanpa transparansi dan optimalisasi pengawasan.
Kekerasan, pelecehan seksual dan pencabulan, merupakan satu dari tiga dosa besar pendidikan yang menghambat perkembangan anak. Lembaga pendidikan harus menjadi ruang aman bagi peserta didik yang tengah menyongsong masa depannya.
Editor : Mely Eprianti S.H.