Penulis: Pinnur Selalau
Pemred RadarCyberNusantara.Id
Opini : Di negeri yang kaya akan budaya dan sumber daya ini, dunia pendidikan seolah menjadi ladang percobaan tiada akhir. Kurikulum, sebagai pondasi utama pembelajaran, kerap kali berubah tanpa transisi yang memadai. Dalam hitungan tahun, anak-anak sekolah harus menyesuaikan diri dengan sistem baru. Para guru pun pontang-panting menyesuaikan metode mengajar. Dan orang tua, seperti biasa, hanya bisa mengeluh di balik pintu rumah.
Gonta-ganti kurikulum ibarat badai yang datang tanpa aba-aba. Tidak hanya merusak ritme belajar, tapi juga menciptakan kebingungan massal di semua lini pendidikan. Dalam dua dekade terakhir saja, Indonesia telah mengalami lebih dari tiga perubahan besar dalam kurikulum: dari Kurikulum 2006 (KTSP), ke Kurikulum 2013, dan dari Kurikulum Merdeka ke Kurikulum berdampak . Setiap kurikulum datang membawa semangat perubahan, namun sayangnya, lebih sering berubah karena tekanan politik dan proyek-proyek jangka pendek dibanding kebutuhan nyata peserta didik.
Kurikulum seharusnya lahir dari kajian ilmiah mendalam, uji coba yang matang, dan penerapan bertahap yang terukur. Namun di negeri ini, kurikulum seringkali diumumkan terburu-buru oleh para pejabat yang baru menjabat, seolah sebuah warisan yang harus segera ditinggalkan sebelum masa jabatan usai. Maka tak heran jika implementasinya selalu menimbulkan kegaduhan.
Para guru berada di garda depan menghadapi dampak paling nyata dari perubahan ini. Mereka harus mengikuti pelatihan yang kadang tidak tuntas, dituntut mengubah perangkat pembelajaran dalam waktu singkat, dan menghadapi tuntutan administratif yang semakin menumpuk. Alih-alih fokus mengajar, mereka justru sibuk mengejar pemahaman terhadap sistem baru yang terus berubah. Banyak dari mereka akhirnya memilih “asal jalan”, mengajar sekadar memenuhi kewajiban tanpa benar-benar menerapkan ruh dari kurikulum baru.
Siswa, sebagai subjek utama pendidikan, menjadi korban paling sunyi dari kekacauan ini. Di tengah masa pertumbuhan yang seharusnya diisi dengan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna, mereka justru harus beradaptasi dengan sistem yang membingungkan. Materi pelajaran yang tiba-tiba berubah, cara penilaian yang tak konsisten, dan beban tugas yang tak terarah, membuat semangat belajar mereka luntur. Siswa-siswa Indonesia telah terlalu lama menjadi kelinci percobaan sistem yang tak stabil.
Orang tua pun tak kalah pusing. Mereka harus membeli buku-buku baru yang terus berubah, menyesuaikan diri dengan model belajar daring, luring, atau kombinasi keduanya, dan kerap kali tak paham dengan istilah-istilah dalam kurikulum baru. Ketika anak mereka mengalami kesulitan belajar, mereka bingung harus menyalahkan siapa: guru, sekolah, atau sistem?
Salah satu akar masalah dari kegagalan ini adalah absennya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi kurikulum sebelumnya sebelum diganti. Pemerintah tampak terburu-buru ingin meninggalkan masa lalu dan menunjukkan hasil cepat. Padahal, pendidikan bukanlah proyek jangka pendek. Hasilnya tak bisa dilihat dalam hitungan bulan atau bahkan tahun. Butuh puluhan tahun untuk melihat dampak nyata dari sebuah kurikulum. Jika terus diganti sebelum waktunya, maka tak akan pernah ada hasil yang dapat diukur secara objektif.
Gonta-ganti kurikulum juga mencerminkan inkonsistensi arah kebijakan pendidikan. Alih-alih fokus pada penguatan karakter dan literasi dasar, setiap kurikulum datang membawa jargon dan pendekatan baru yang belum tentu sesuai dengan konteks Indonesia. Dalam Kurikulum 2013, misalnya, pendekatan saintifik digaungkan, namun tanpa dukungan sumber daya dan pelatihan yang memadai, implementasinya timpang. Dalam Kurikulum Merdeka, semangat kebebasan belajar muncul, tapi banyak guru merasa dibiarkan tanpa arahan yang jelas.
Sementara itu, negara-negara yang sukses dalam pendidikan, seperti Finlandia dan Jepang, justru menjaga konsistensi kurikulum mereka. Mereka menyesuaikan perubahan secara perlahan, bertahap, dan berbasis riset. Mereka memprioritaskan kualitas guru dan lingkungan belajar, bukan sekadar mengganti nama kurikulum atau format ujian.
Indonesia harus belajar dari kesalahan ini. Kurikulum bukanlah sekadar dokumen kebijakan, melainkan peta jalan masa depan bangsa. Jika peta itu terus diubah sebelum sempat dilalui, bagaimana mungkin generasi muda bisa mencapai tujuan pendidikan nasional yang luhur?
Solusi dari malapetaka ini bukan menghentikan perubahan, melainkan membuat perubahan yang terarah dan bertanggung jawab. Pemerintah perlu melibatkan semua pemangku kepentingan guru, siswa, orang tua, dan ahli pendidikan dalam setiap tahap perumusan kurikulum. Evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum lama harus menjadi pijakan utama sebelum memulai yang baru. Dan yang terpenting, implementasi kurikulum harus dilakukan secara bertahap, bukan serentak, agar semua pihak bisa menyesuaikan diri dengan baik.
Pendidikan bukan tentang siapa yang menjabat dan ingin meninggalkan jejak, tetapi tentang bagaimana anak-anak kita belajar dan tumbuh menjadi manusia yang utuh. Jika sistem pendidikan terus dijadikan panggung kebijakan yang tidak konsisten, maka kita hanya akan menghasilkan generasi yang bingung, bukan generasi yang unggul.(**)