Oleh : Pinnur Selalau
Jurnalis, Pemred Media RadarCyberNusantara.Id
Wacana perpanjangan masa jabatan DPRD selama 2,5 tahun dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Artikel ini menyoroti ironi saat perpanjangan jabatan Presiden ditolak karena konstitusi, kini justru MK mengizinkan perpanjangan legislatif daerah.
Bandar Lampung | SAYA merasa terpanggil menulis opini ini. Tidak ada kepentingan politik pribadi yang mendorong, selain panggilan nurani sebagai warga negara yang percaya bahwa konstitusi adalah pagar utama demokrasi kita.
Hari-hari ini, mencuat wacana serius untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPRD—bahkan seluruh legislatif daerah—selama dua tahun enam bulan. Dalihnya: menyesuaikan jadwal pemilu agar Pemilu Presiden dan Legislatif bisa dipisahkan. Alasan ini disandarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi, yang kemudian akan ditindaklanjuti melalui revisi UU Pemilu.
Saya tidak anti terhadap ide pemilu yang lebih efisien. Tapi mari kita jujur: perpanjangan masa jabatan tanpa pemilu adalah bentuk pemutihan politik yang bertentangan dengan konstitusi.
Konstitusi Tegas: Masa Jabatan hanya 5 Tahun
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Kata “lima tahun” dalam konstitusi tegas. Itu adalah komitmen konstitusi terhadap sirkulasi kekuasaan. Masa jabatan anggota DPR, DPD, dan DPRD juga ditetapkan selama lima tahun, baik dalam konstitusi maupun dalam UU MD3. Tidak ada celah hukum untuk menambah masa jabatan tanpa pemilu.
Dulu Jokowi Ditolak, Kini DPRD Diperpanjang?
Saya masih ingat jelas, beberapa tahun lalu, saat pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Muncul suara-suara dari kalangan elite yang mendorong perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo, bahkan ada yang ingin menunda pemilu.
Apa yang terjadi waktu itu?
Nyaris seluruh elemen bangsa—akademisi, mahasiswa, media, ormas, aktivis, hingga elite politik sendiri—menolak gagasan tersebut. Alasannya sederhana: itu bertentangan dengan konstitusi dan berbahaya bagi demokrasi.
Tapi hari ini, di saat tidak ada pandemi, tidak ada darurat nasional, Mahkamah Konstitusi justru memberi celah hukum untuk memperpanjang masa jabatan anggota legislatif.
Apakah karena kekuasaan yang akan diuntungkan bukan presiden, melainkan politisi di daerah, maka publik diam saja? Inilah paradoks demokrasi kita hari ini.
Tafsir MK Tak Boleh Melampaui Konstitusi
Saya tidak ingin meragukan niat Mahkamah Konstitusi. Tapi saya ingin mengingatkan bahwa MK adalah lembaga tafsir, bukan pembentuk norma. MK tidak berwenang membuat pasal baru yang mengubah struktur kekuasaan. Masa jabatan lima tahun adalah norma konstitusional, bukan produk undang-undang biasa yang bisa ditambah semaunya.
Putusan MK seharusnya menjaga keutuhan UUD 1945, bukan menimbulkan preseden bagi penyimpangan baru.
Konstitusi Tak Boleh Dikalahkan, Jangan Diam!
Jika masa jabatan anggota DPRD bisa ditambah 2,5 tahun dengan alasan teknis, maka apa jaminannya kelak masa jabatan yang lain bisa ditambah karena alasan lain?
Demokrasi bukanlah soal kepentingan semata. Demokrasi adalah keberanian menjaga mandat rakyat dan membatasi kekuasaan agar tidak melampaui waktu dan kewenangannya.
Saya menulis ini sebagai warga biasa yang tidak ingin melihat republik ini kembali ke masa lalu yang gelap, ketika kekuasaan bisa diperpanjang lewat tafsir dan kelengahan publik.
Perpanjangan masa jabatan DPRD tanpa pemilu adalah bentuk pengingkaran terhadap kehendak rakyat. Jika wacana seperti ini kita diamkan, maka besok lusa, perpanjangan jabatan Presiden bisa saja kembali dihidupkan. Dan saat itu terjadi, kita akan menyesal karena tidak bersuara hari ini.
Konstitusi bukan milik elite. Ia adalah milik seluruh rakyat. Dan kita semua punya kewajiban moral dan politik untuk menjaganya.