MBG: Pilar Peradaban dan Kompas Kemajuan Bangsa

waktu baca 4 menit
Rabu, 1 Okt 2025 07:58 107 Admin RCN

Oleh : Pinnur Selalau

Gelombang opini publik selalu datang silih berganti. Ada yang membangun, ada pula yang mengguncang. Belakangan, satu seruan terdengar semakin keras di ruang publik: “Hentikan BGN !, Bubarkan MBG !”

Sekilas, seruan ini terdengar heroik: tegas, lugas, seolah menjadi jawaban tuntas bagi setiap kekecewaan. Tetapi jika kita berhenti sejenak dan berpikir dengan kepala dingin, kita akan sadar bahwa penghentian bukanlah solusi. Menghentikan BGN dan membubarkan MBG justru seperti mematikan mesin kapal di tengah samudra hanya karena laju terasa berguncang. Kita memang berhenti berguncang, tetapi juga berhenti bergerak.

MBG: Kompas yang Menjaga Arah

MBG adalah kompas yang memandu BGN. Ia bukan beban, bukan rantai pengikat; melainkan kerangka yang memastikan kita tidak berjalan tanpa arah. Tanpa MBG, BGN hanya akan menjadi deretan program yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa keterpaduan, tanpa tolok ukur yang jelas, dan akhirnya kehilangan daya dorongnya.

Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato pada 29 September 2025, menegaskan:

“Ada kekurangan? Ada. Tapi manfaatnya sangat-sangat besar. Dalam 10 bulan pelaksanaan, MBG telah menjangkau hampir 30 juta penerima manfaat dan menyelamatkan sekitar Rp300 triliun dari beban sosial”

Beliau juga menyoroti bahwa tingkat penyimpangan dalam pelaksanaan MBG sebesar 0,00017 persen dari seluruh distribusi makanan.

Melihat Masalah dengan Akal Bening, Bukan Emosi Sesaat

Tidak dapat dipungkiri, BGN dan MBG menghadapi banyak tantangan. Ada kelemahan di lapangan, kesenjangan implementasi, dan hambatan birokrasi yang membuat frustrasi sebagian orang. Namun, apakah jalan keluar terbaik adalah membongkar seluruh sistem?

Menghentikan BGN hanya karena ada cacat ibarat merobohkan rumah karena dindingnya retak. Rumah itu perlu diperbaiki, diperkuat fondasinya — bukan diruntuhkan hingga kita tidur di jalanan.

Kepala BGN, Dadan Hindayana, bahkan menegaskan bahwa Presiden telah memberi instruksi jelas:

“SPPG harus dilengkapi koki terlatih, alat rapid test, sterilisasi food tray, filter air, dan CCTV yang terhubung ke pusat pengawasan”

Arahan ini menunjukkan bahwa negara memilih jalan perbaikan, bukan penghentian. Kekurangan di awal diakui sebagai proses belajar, dan setiap kritik menjadi masukan untuk meningkatkan mutu.

Kritik sebagai Vitamin, Bukan Ledakan Emosi

Kritik adalah vitamin bagi kebijakan publik. Tanpa kritik, sistem bisa kaku dan lupa berbenah. Namun kritik yang sehat harus diiringi solusi. Sebagian kritik terhadap MBG hanya berhenti pada seruan “hentikan!” tanpa menjelaskan apa yang akan menggantikan MBG jika dihapus. Apakah kita siap berjalan tanpa kompas?

Dadan Hindayana menegaskan bahwa MBG bersifat inklusif, menjangkau seluruh kelompok prioritas: anak usia dini, pelajar, ibu hamil, hingga ibu menyusui. Program ini bukan sekadar bantuan sosial, tetapi juga gerakan ekonomi masyarakat, membuka peluang bagi sektor pangan lokal.

“Kasus-kasus yang terjadi banyak dialami oleh SPPG yang baru beroperasi karena SDM masih membutuhkan jam terbang. Ini adalah proses belajar yang sedang kami kawal ketat”
(Laporan Kepala BGN kepada Presiden, 29 September 2025)

Dengan data terbaru, 9.615 SPPG kini melayani lebih dari 31 juta penerima manfaat. Angka ini tidak mungkin dicapai tanpa sistem yang terukur dan terintegrasi seperti MBG.

MBG sebagai Penyangga Harapan dan Akuntabilitas

Ada alasan kuat mengapa MBG tidak boleh dibiarkan runtuh:

1. Menjamin Arah yang Konsisten – MBG memberi peta jalan yang seragam. Tanpanya, setiap daerah bisa menafsirkan BGN semaunya, membuat kita kehilangan harmoni nasional.

2. Menghadirkan Transparansi dan Akuntabilitas – MBG memungkinkan publik memantau progres dengan data, bukan sekadar perasaan.

3. Mendorong Perbaikan Berkelanjutan – Evaluasi rutin menjadikan kelemahan bahan pembelajaran, bukan alasan untuk menyerah.

Menghapus MBG sama seperti membuang peta di tengah perjalanan hanya karena jalannya menanjak. Padahal, justru di tanjakan kita paling membutuhkan peta agar tidak salah arah.

Menghadapi Gelombang Penolakan dengan Kebijaksanaan

Gelombang penolakan terhadap MBG memang besar, namun besar bukan berarti benar. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa suara terbanyak tidak selalu menjadi penentu kebenaran.

Presiden Prabowo mengingatkan:

“Harus waspada, jangan sampai ini dipolitisasi. Tujuan makan bergizi adalah untuk anak-anak kita yang sering sulit makan”

Gerakan korektif jauh lebih bermanfaat daripada gerakan pembongkaran. Penolakan tanpa alternatif hanya akan membuat pembangunan sporadis, tidak terukur, dan sulit dipertanggungjawabkan.

Memperkuat Bersama, Bukan Menghentikan

Kita dihadapkan pada dua pilihan:

Jalan singkat: menghentikan BGN dan MBG, merasa puas sesaat, tetapi kehilangan arah dan harus memulai dari nol.

Jalan panjang: mengakui kekurangan, memperbaiki dengan tekun, dan terus melangkah maju.

Bangsa yang matang bukanlah bangsa yang membongkar setiap kali menemukan kelemahan, tetapi bangsa yang mampu memperbaiki dan memperkuat kelemahan itu. MBG adalah simbol kedewasaan bangsa — simbol bahwa kita berani diukur, menerima kritik, dan memperbaiki diri.

Kritik Sebagai Api Unggun, Bukan Bara Amarah

Kritik bisa menjadi bara yang membakar atau api unggun yang memberi terang. Pilihan ada di tangan kita.

Mari jadikan kritik sebagai cahaya yang menuntun, bukan ledakan emosi yang meruntuhkan. Mari kita perkuat MBG agar generasi mendatang mewarisi sistem yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi tantangan. Menjaga MBG berarti menjaga arah perjalanan bangsa.

Bandar Lampung, 01 Oktober 2025.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
error: Content is protected !!