RadarCyberNusantara.Id | Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, isu kesejahteraan guru kembali mencuat sebagai topik sentral dalam evaluasi kebijakan pendidikan nasional. Pinnur Selalau, Pemred Media RadarCyberNusantara. Id, dan pemerhati pendidikan, menyampaikan catatan kritis bahwa masa depan pendidikan Indonesia sangat ditentukan oleh keberpihakan nyata terhadap para guru bukan sekadar dalam bentuk janji politik atau alokasi anggaran yang besar, tetapi melalui kebijakan yang adil, merata, dan tepat sasaran.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa pendidikan adalah salah satu prioritas utama pemerintahannya. Namun, Pinnur Selalau, mengingatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan tak mungkin terwujud tanpa memperbaiki kondisi guru terlebih dahulu. Guru bukan hanya pelaksana kurikulum; mereka adalah ujung tombak transformasi bangsa.Hal tersebut disampaikan nya di Kantor DPD PWRI Lampung, Sabtu 13 September 2025.
Kabid Pengawasan Etika dan Profesi Wartawan DPD PWRI Lampung tersebut mengatakan Tidak ada pendidikan yang baik tanpa guru yang sejahtera. Dan tidak ada guru yang bisa mendidik dengan baik jika ia sendiri hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran cukup besar untuk sektor pendidikan, termasuk untuk tunjangan profesi guru, insentif, dan peningkatan kapasitas. Namun, Pinnur Selalau, menyoroti bahwa pelaksanaan di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak guru honorer masih menerima gaji jauh di bawah upah minimum, bahkan ada yang hanya dibayar Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan.
Ini adalah ironi. Di satu sisi kita bicara revolusi industri 4.0, kecerdasan buatan, dan kurikulum merdeka belajar. Tapi di sisi lain, guru guru kita masih harus bekerja sambilan, berdagang, atau mengojek untuk mencukupi kebutuhan hidup, ungkapnya.
Pinnur Selalau, juga mengingatkan bahwa distribusi tunjangan guru, baik untuk ASN maupun non ASN, kerap tidak merata dan tersendat akibat mekanisme birokrasi yang rumit.
Salah satu isu yang paling banyak disuarakan oleh guru adalah status kepegawaian yang tidak jelas. Ribuan guru honorer di seluruh Indonesia belum juga mendapatkan kejelasan nasib, meskipun sudah mengabdi bertahun tahun. Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sempat memberi harapan, namun proses rekrutmen yang terbatas dan tidak serentak menyebabkan banyak guru tertinggal.
Pinnur Selalau, menganggap bahwa penyelesaian masalah guru honorer harus menjadi prioritas nasional. Kita tidak bisa membangun sistem pendidikan yang kuat dengan fondasi guru-guru yang tidak tenang hidupnya. Kalau kesejahteraan dan status mereka tidak segera dibenahi, maka semangat dan kualitas pendidikan juga akan tergerus.
Pinnur Selalau mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan dan program sertifikasi. Namun, ia mengingatkan bahwa pelatihan tanpa peningkatan kesejahteraan hanya akan menjadi beban tambahan.
Guru dituntut untuk terus belajar, mengikuti pelatihan, menguasai teknologi, namun gaji mereka tidak naik, tunjangan belum cair, dan beban administrasi makin berat. Ini kontradiktif, kata Pinnur. Ia mendorong agar pelatihan dipadukan dengan insentif yang layak, serta dikurangi birokrasi administratif yang menyulitkan.
Kesenjangan antara guru di kota dan di daerah terpencil juga menjadi perhatian serius. Guru di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih menghadapi tantangan besar seperti akses transportasi sulit, fasilitas minim, hingga tidak adanya jaminan keamanan.
Menurut Pinnur Selalau, insentif untuk guru di daerah terpencil belum memadai dibandingkan tantangan yang mereka hadapi. Guru-guru yang mengajar di pegunungan, pulau-pulau kecil, atau perbatasan seharusnya mendapatkan apresiasi lebih besar, karena mereka menjalankan tugas negara yang sangat mulia dalam kondisi yang sangat sulit.
Pinnur Selalau, menyerukan adanya reformasi menyeluruh dalam kebijakan ketenagakerjaan guru. Ia mengusulkan pertama Penyederhanaan proses pengangkatan dan sertifikasi guru, terutama bagi honorer yang telah lama mengabdi.
Kedua Reformasi sistem penggajian, agar semua guru baik ASN maupun non ASN mendapatkan penghasilan yang layak dan manusiawi.
Ketiga Penataan kembali mekanisme distribusi tunjangan agar tidak lambat, tidak diskriminatif, dan bebas dari praktik korupsi atau pungutan liar.
Keempat Skema perlindungan sosial yang komprehensif untuk guru, termasuk asuransi kesehatan dan jaminan hari tua.
Pinnur Selalau menutup catatannya dengan pesan kuat kepada pemerintah: Pendidikan bukan hanya soal angka-angka atau program yang indah di atas kertas. Ia soal manusia dan guru adalah manusianya. Jika kita ingin pendidikan yang maju, maka perbaikilah dulu nasib guru guru kita.
Memasuki tahun kedua pemerintahan Prabowo, isu kesejahteraan guru menjadi ujian moral dan politik yang nyata. Apakah negara benar-benar berpihak pada para pendidik yang telah membentuk karakter bangsa, atau hanya menjadikan mereka sebagai bagian dari retorika pembangunan?
Kesejahteraan guru bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Pinnur Selalau, mengingatkan bahwa tanpa guru yang hidup layak, tidak akan lahir generasi cerdas, berkarakter, dan berdaya saing. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa janji janjinya bukan hanya terdengar indah, tetapi benar-benar dirasakan di ruang ruang kelas di seluruh Indonesia dari pusat kota hingga pelosok negeri. | Mely.
Tidak ada komentar