RadarCyberNusantara.Id | Saya pernah mengagumi orang ini, karena Sri memang jempolan di bidang ekonomi. Saya membaca pandangan dan insight-nya sebagai ekonom, memang bagus cara berpikirnya menuju persaingan global. Tapi pada akhirnya kekaguman saya ini jadi runtuh ketika membaca moment dan berita dimana dia memberikan solusi ekonomi yang tidak bersahabat bagi rakyat Indonesia. Saya jadi seketika tidak simpati lagi sama orang ini.

Jadi gini Sri, kita kalau mengharap sektor pajak sebagai penunjang utama APBN, itu sama artinya kita menaruh fiskal negara ke arah yang rapuh dan rawan krisis. Hal kecil seperti ini, seharusnya sudah anda ketahui sebagai ekonom handal. Ibaratnya bulan depan kita menghadapi krisis ekonomi; produksi, distribusi, dan daya beli hancur misalnya, lalu bagaimana mereka akan bayar pajak? Itu artinya outlook APBN bisa hancur seketika.
Negara seakan-akan tidak mempunyai sektor lain yang bisa diharapkan selain pajak. Bagaimana dengan sumber daya alam kita dan BUMN yang seharunya memberikan kontribusi kepada APBN? BUMN telah memainkan perannya sebagai agen pembangunan, sekaligus menjadi pemain tunggal dalam sektor strategis seperti energi, listrik, pangan dllnya, mana kontribusi mereka yang sepadan? Lalu ada sumber daya alam kita dari nikel, batubara, timah dllnya, mana kontribusi mereka? Mengapa harus pajak rakyat yang jadi penanggung utama?
BUMN menguasai sektor energi, infrastruktur, telekomunikasi, perbankan, dan semua sektor vital negara. Mereka cukup miskin kontribusi, karena keberhasilan BUMN bukan pada kontribusi pembangunan, melainkan setoran dividen yang jadi tolok ukur kinerja dan akuntabilitas publik. Fakta mirisnya masih ada banyak BUMN yang justru jadi beban negara dan menyusui pada APBN yang berasal dari pajak rakyat.
Lebih mengenaskan lagi, saya lihat banyak BUMN hidup bukan sebagai pilar ekonomi, melainkan sapi perahan partai politik, DPR, pemerintah, hingga kepentingan gelap dana kampanye. Dari sekian banyak BUMN, laporan mencatat hanya sekitar 10 yang benar-benar aktif menyumbang, itu pun dalam skala kecil jika dibandingkan dengan nilai aset dan posisi strategis mereka. Rakyat itu sudah pintar, hal-hal seperti ini sudah mereka mengerti, anda tidak berhadapan dengan rakyat yang sama 30 atau 40 tahun lalu.
Saya berikan komparasi, namun lontras dengan Indonesia, negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia membuktikan kontribusi BUMN dengan kinerja luar biasa! Melalui Temasek Holdings dan Khazanah Nasional, mereka menunjukkan bagaimana BUMN bisa menjadi mesin pertumbuhan sekaligus contributor besar bagi APBN dan pertumbuhan nasional
Dividen mereka bukan hanya menyehatkan fiskal negara, tetapi juga membiayai inovasi, menciptakan lapangan kerja riil, dan memastikan pemerataan sosial. Mereka tidak menjadikan BUMN sebagai tempat parkir politik, atau pabrik jabatan komisaris untuk kroni politik yang menjabat sebagai wakil menterei. Indonesia seakan-akan tak belajar, meski berkali-kali rakyat melihat kegagalan yang sama.
Ketergantungan buta pada pajak ini berbahaya juga dari aspek politik. Sejarah Prancis di bawah Raja Louis XVI menjadi pengingat; ketika rakyat dicekik pajak sementara elit hidup berfoya-foya, amarah sosial bisa menjelma revolusi. Pajak memang instrumen penting, tetapi menjadikannya satu-satunya tumpuan justru melemahkan fondasi ekonomi. Pajak mudah terguncang krisis global, mudah bocor oleh korupsi, dan menyempitkan ruang fiskal negara. Jalan keluarnya adalah mendorong BUMN untuk benar-benar mandiri, berinovasi, dan berkontribusi nyata.
Saya melihat pemerintah meluncurkan proyek ambisius bernama Danantara Holding, yang katanya kebal dari audit publik, KPK, bahkan BPK. Pertanyaan publik sederhana; untuk siapa holding ini dibentuk? Untuk negara atau untuk lingkaran kuasa? Bila paradigma BUMN tetap dibiarkan sebagai instrumen politik, bukan instrumen ekonomi, maka kita hanya akan mengulang lingkaran busuk yang sama.
BUMN itu harus ikut membangun kemandirian fiskal lewat investasi teknologi, energi terbarukan, dan kecerdasan buatan, untuk investasi jangka panjang yang lebih kebal dari krisis ekonomi. Bukan malah memilih jalan instan dengan peras pajak, lindungi BUMN gagal, dan tutup rapat transparansi. Negara seperti ini tak sedang menuju kemajuan, melainkan ke arah keruntuhan di depan mata.
Yang lebih miris lagi pernyataan Sri ini tentang GURU, Dia bilang Guru hanya menjadi beban Negara. Pertanyaannya, Anda sampai menjadi menteri dan orang hebat itu memang nya diajarin siapa..? jasa siapa..?, dan orang-orang hebat yang ada di pemerintahan dan DPR itu siapa yang mengajari mereka jadi orang hebat, apakah orang tua mereka sendiri ataukah Guru..? (**)
Tidak ada komentar