# Paradoks Dengan Asta Cita Presiden
Oleh : Dr. Yunada Arpan
RadarCyberNusantara.Id | Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025 (PMK 81/2025) telah memicu gelombang dan gejolak penolakan dari perangkat desa di seluruh Indonesia. Reaksi keras ini bukan sekadar respons emosional, melainkan ekspresi keresahan terhadap sebuah kebijakan yang dinilai menghambat jalannya pemerintahan desa, memutus alur pembangunan, dan berpotensi bertentangan dengan prinsip dasar ekonomi pembangunan maupun asas-asas kepastian hukum.
Dalam konteks pembangunan nasional, desa adalah simpul utama. Presiden Prabowo dalam visi besar Asta Cita menekankan bahwa pembangunan dimulai dari pinggiran, dari rakyat kecil, dan dari wilayah yang selama ini tertinggal dalam arus modernisasi. Desa menjadi arena strategis untuk menurunkan kemiskinan, memperluas kesempatan kerja, dan memperkuat daya saing ekonomi bangsa. Karena itu, perubahan tata kelola dana desa bukanlah isu teknis semata, melainkan isu strategis yang menyangkut keberlanjutan agenda nasional.
Masalah ini tidak bisa dipandang sekadar administrative melainkan cerminan dari terganggunya rasa keadilan, kepastian hukum, serta arah pembangunan desa yang selama ini menjadi fondasi strategis pembangunan nasional. Ia bersentuhan dengan ekonomi pembangunan, keadilan fiskal dan kepastian hukum. Bila desa terganggu, pembangunan nasional pun terganggu.
Fakta akademis mendukung kekhawatiran ini. Berbagai penelitian menunjukkan pentingnya Dana Desa bagi ekonomi pembangunan. Sebuah studi menyatakan bahwa alokasi Dana Desa “positively and significantly contribute to economic growth and development indicators….” Jika alur pendanaan ini terganggu, maka aktivitas ekonomi desa ikut stagnan.
Kajian lain menekankan bahwa Dana Desa memperkuat ekonomi kreatif dan kemandirian warga, dana tersebut telah meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat melalui pengembangan usaha kreatif berbasis potensi lokal.
Selain itu, penelitian di berbagai wilayah menunjukkan bahwa Dana Desa sangat efektif dalam meningkatkan pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat desa. Dengan demikian, penghentian sementara dana yang dimaksud meski hanya pada satu tahap, maka berpotensi menghapus efek pengganda ekonomi (multiplier effect) yang selama ini tercipta di desa.
Tampaknya kontroversi PMK 81/2025 bukan hanya soal teknis penyaluran anggaran. Lebih jauh, ia menyentuh substansi filosofis tentang bagaimana negara menjalankan amanat ekonomi pembangunan, bagaimana semangat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto diterjemahkan pemerintah teknokrat, dan bagaimana hukum semestinya menjadi “panglima” yang memberikan kepastian, bukan justru memunculkan ketidakstabilan sosial-politik.
Tulisan ini, secara ringkas mengurai hubungan antara kebijakan fiskal desa, arah ekonomi pembangunan nasional, dan prinsip kepastian hukum yang seharusnya menjadi fondasi pengaturan keuangan negara, sekaligus memberikan rekomendasi konstruktif agar pemerintah pusat, daerah, dan desa dapat menemukan jalan terbaik.
Desa sebagai Pilar Ekonomi Pembangunan,
Dalam teori ekonomi pembangunan, para ekonom seperti Todaro & Smith menegaskan bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang menekankan pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas lokal, serta distribusi manfaat pembangunan yang adil. Pemerintah pusat, menurut literatur ini, tidak boleh memperlakukan komunitas akar rumput sebagai objek teknokrasi fiskal, melainkan sebagai mitra strategis dalam pertumbuhan jangka panjang.
Desa adalah entitas yang unik, ia bukan sekadar unit administratif, tetapi basis produksi pangan, tempat berlangsungnya mobilisasi sosial, dan penyedia stabilitas sosial bagi negara. Karenanya, setiap kebijakan fiskal yang menyasar desa harus memiliki kepekaan terhadap struktur sosial-ekonomi lokal.
Jika PMK 81/2025 menimbulkan gejolak di puluhan ribu desa di Indonesia, berarti terdapat disfungsi serius pada aspek konsultasi publik, partisipasi lokal, serta pemahaman terhadap dinamika pembangunan wilayah. Ini mengkhawatirkan, karena literatur pembangunan menegaskan hal yang sebaliknya: “Pembangunan akan gagal apabila proses perencanaan mengabaikan pengetahuan lokal dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.” (Chenery, “Redistribution with Growth”)
Disharmoni Regulasi Dan Kepastian Hukum,
Secara hierarki perundang-undangan, PMK berada di bawah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Artinya, PMK tidak boleh menyimpang dari tujuan pembangunan desa sebagaimana diatur dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa (sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2024) yang memberi mandat jelas bahwa dana desa digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Ketika sebuah PMK justru menyebabkan pembangunan desa terhenti, muncul pertanyaan tentang potensi disharmoni aturan.
Dalam teori perundang‑undangan, PMK adalah regulasi di bawah undang‑undang dan PP. PMK hanya dapat mengatur hal‑hal teknis sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 6/2014 tentang Desa maupun PP terkait tata kelola keuangan desa. Ada beberapa potensi masalah hukum yang perlu dicermati yakni:
Asas kepastian hukum (lex certa); PMK 81/2025 diterbitkan di tengah siklus anggaran. Desa telah menyusun APBDes berdasarkan aturan sebelumnya. Penerapan aturan mendadak tanpa masa transisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dari sisi asas keadilan (equity before law); desa terpencil, kepulauan, dan wilayah dengan keterbatasan SDM tidak dapat disamaratakan dengan desa yang maju. Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan kapasitas SDM desa masih tinggi, sehingga pendekatan one size fits all seringkali menciptakan ketidakadilan struktural.
Terjadinya disharmoni dengan UU Desa yang menegaskan Dana Desa digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Ketika PMK secara substansi membuat pembangunan berhenti, hal ini berpotensi kontradiktif dengan tujuan UU Desa. Bila dikaitkan dengan prinsip kemanfaatan dalam Kebijakan Publik disebutkan, peraturan yang tidak memberikan manfaat substantive bagi publik, atau justru menimbulkan dampak negatif, secara moral wajib dievaluasi dan diperbaiki, (Dunn, 2020).
Paradoks Dengan Asta Cita Presiden Prabowo
Presiden Prabowo menegaskan dalam visi Asta Cita bahwa pembangunan harus ditopang pemerataan, desa menjadi basis ketahanan pangan dan ekonomi nasional, pemerintah wajib menjamin rasa keadilan sosial, birokrasi harus mendukung rakyat, bukan membebani mereka.
Pertanyaannya: Apakah PMK 81/2025 selaras dengan arah politik Presiden? Dalam analisis kritis, terlihat adanya policy gap antara visi presiden dan tafsir teknokrasi fiskal. Sementara Presiden ingin memperkuat desa, PMK justru dipersepsikan menambah kerumitan administratif, berpotensi memperlambat pencairan, menurunkan fleksibilitas desa dalam merencanakan pembangunan, dan bahkan menurunkan semangat kerja perangkat desa yang selama ini menjadi pelaksana program negara.
PMK 81/2025 menciptakan paradox, desa dituntut untuk menjalankan pembangunan, tetapi alat pembangunan yang paling penting—pendanaan—diperketat secara mendadak. Di sinilah letak kritik utama. Regulasi seharusnya mendukung visi besar, bukan menciptakan hambatan baru. Jika desa terhenti, maka pembangunan nasional pun ikut melambat.
Kebijakan fiskal bukan sekadar angka, ia adalah pernyataan moral negara kepada rakyat.
Dalam teori keadilan distributif, John Rawls menegaskan bahwa: “Sebuah kebijakan adil apabila memberikan manfaat paling besar bagi kelompok yang paling lemah.” Siapa kelompok paling lemah dalam struktur fiskal Indonesia?
itulah desa, yang berada jauh dari pusat, dengan kapasitas regulatif terbatas.
Sedangkan saat PMK 81/2025 diluncurkan, justru memunculkan persepsi pengetatan, bukan pemberdayaan, maka rasa keadilan publik terganggu. Pada saat yang sama, ketika rasa keadilan terganggu, legitimasi hukum ikut retak.
Di sinilah pentingnya konsistensi antara hukum, moral publik, dan arah pembangunan.
Agar kontroversi PMK 81/2025 tidak berkembang menjadi konflik berkepanjangan, seharusnya dilakukan regulatory review lintas kementerian dengan mengkaji kembali PMK 81/2025 bersama Kemendagri, Kemendes, dan perwakilan desa untuk memastikan tidak ada norma yang bertentangan dengan UU Desa.
Revisi pasal-pasal yang menghambat fleksibilitas desa, desa harus diberi ruang adaptif sesuai karakteristik lokal.
Pembangunan desa tidak boleh dikontrol secara sentralistis berlebihan. Revisi substantif untuk tetap menjaga akuntabilitas tetapi tidak menghambat pembangunan.
Terapkan transitional period agar desa dapat menyesuaikan sistem baru tanpa mengorbankan pembangunan berjalan. Lakukan Pemenuhan asas legitimate expectation, desa perlu kepastian bahwa aturan tidak berubah tiba-tiba tanpa konsultasi publik. Sejalan dengan visi Presiden maka kebijakan teknis harus mencerminkan Asta Cita, bukan hanya logika fiskal birokrasi.
Desa yang berada di daerah 3T harus memperoleh perlakuan khusus sebagai bentuk keadilan distributif. Pendampingan administratif perlu diperkuat, bukan sekadar pengawasan termasuk dialog nasional antara pemerintah dan organisasi desa harus dilakukan untuk merumuskan kebijakan bersama.
Penolakan terhadap PMK 81/2025 adalah alarm keras. Ini bukan tentang kepentingan perangkat desa semata, tetapi tentang hubungan negara dengan akar rumput—hubungan yang menentukan masa depan stabilitas ekonomi dan politik Indonesia.
Desa adalah masa depan Indonesia.
Pembangunan desa merupakan pondasi dari visi besar Presiden Prabowo membangun bangsa yang adil, maju, dan sejahtera. Namun pembangunan tidak akan kuat tanpa kepastian hukum. Kepastian hukum bukan sekadar norma canggih dalam dokumen negara — ia adalah syarat agar roda ekonomi berputar, agar aparatur desa bekerja tenang, dan agar kebijakan nasional berjalan stabil. Jika regulasi justru menimbulkan keguncangan, maka ia patut dievaluasi.
PMK 81/2025 adalah contoh kebijakan baik yang mungkin tidak tepat waktu. Koreksi bukanlah kelemahan, melainkan kedewasaan negara dalam mendengar suara rakyat. Desa telah membuktikan kontribusinya. Sejumlah riset menunjukkan manfaat Dana Desa dalam peningkatan infrastruktur, pendapatan, dan ekonomi kreatif. Maka negara wajib membalasnya dengan regulasi yang adil, pasti, dan selaras dengan Asta Cita. Pembangunan desa yang kuat hanya mungkin jika hukum yang mengaturnya juga kuat, stabil, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
*) Dosen STIE Gentiaras Bandar Lampung/Dewan Penasehat DPC APDESI Lampung Barat.
Tidak ada komentar