Oleh : Pinnur Selalau.
(Pimred RadarCyberNusantara.Id)
NEGERI ini dulu lahir dari luka dan nyala, ditempa sumpah, darah dan harapan merata. Tapi kini dibawah panji yang sama, kita perlahan pecah tanpa perang tanpa senjata.
Pemerintahan bicara soal kesejahteraan, tapi sibuk menimbun kekayaan dan jabatan. Lambang negara didada tampak meyakinkan, namun isinya rakus, penuh tipu daya dan kepalsuan.
Pajak ditarik tiada Jeda, isi dapur tinggal ampas dan nestapa, rakyat membanting tulang siang dan malam, namun tetap dituduh sebagai beban negara.
Regulasi jadi pisau dua mata, tajam kebawah, tumpul keatas sana. Yang kecil ditertibkan yang besar dilindungi, hukum berjalan dengan kacamata kepentingan pribadi.
Janji-janji lantang diatas luka, tapi tak sedikitpun menyentuh nasib yang nyata. Negara perlahan kehilangan jiwa, terpecah arah, tercerai rasa, mati bersama!
Sebelum berkuasa ia lantang bicara, menjanjikan surga disetiap celah kata. Mengutuk yang tamak mencela yang culas, bersumpah setia pada rakyat yang lemas.
Kursi kuasa kini mengubah nada, janji-janji luruh didalam fatamorgana! kini ia marah saat dikritik, menjadi raja didalam istana plastik. Kebijakan ditulis dengan emosi, dihapus lagi saat pagi berganti.
Bukan lagi akal sehat yang menjadi pedoman! Melainkan gengsi, citra diri, dan ketakutan. Ketika segalanya runtuh perlahan, ia tunjuk jari kesegala arah! Mengaku korban, merajuk sendu, seperti bocah kehilangan mainan baru.
Kekuasaan ini bukanlah taman tempat main-main, rakyat butuh bijak, bukan drama, bukan raja kerdil yang rapuh, dan labil. Tubuh ini tetap berjalan mesti tanpa kepala, yang memimpin hanyalah gema dari nalar yg telah lama mati rasa.
Rakyat hidup dalam sisa tata, yang dulu dianggap mulia, yang kini jadi kebiasaan bebal yang terus disembah dengan suka rela. Rapat digelar, jargon disusun, semua tampak normal. Padahal inti sistem adalah kekacauan yang dibuat ritual.
Yang waras tampak bengal, sementara yang gila dilindungi formalitas legal. Rakyat tau diri mereka ditipu, tapi tetap bungkam, karena kebebalan ini, segalanya dianggap mencekam.
Idiologi bukan lagi soal keyakinan yang murni, melainkan soal berpura-pura percaya agar hidup tetap sunyi. Dan tubuh tanpa kepala terus bergerak tanpa makna, kita dipimipin oleh kerakusan semata.
Bandar Lampung : 25 Juli 2025.