RadarCyberNusantara. com | Secara umum ada empat tugas dan fungsi yang melekat pada Pers atau jurnalistik, yakni sebagai media informasi, Edukasi, Pengawasan atau Sosial Kontrol, dan Hiburan.
Menghadapi agenda rutin politik lima tahunan yakni pilkada 2024, tugas Pers tetap mengacu pada masalah penyebaran informasi, pengawasan, edukasi dan hiburan, yang satu dengan yang lain tidak mudah untuk dipisahkan.
Pada saat melakukan pengawasan terhadap jalannya tugas kehidupan, termasuk kehidupan berbangga dan bernegara, baik oleh pemerintah maupun swasta, Pers juga tidak bisa meninggalkan tugas pengawasan dan edukasi, termasuk hiburan maupun penyebaran informasi agar masyarakat tidak terjebak pada pikiran yang jumud.
Menghadapi pilkada (pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota), Pers juga harus terus menerus mengambil peran edukasi, untuk mengingatkan masyarakat, peserta pilkada, beserta partai politik, dan pendukungnya, termasuk penyelenggara, untuk mewujudkan pilkada berjalan dengan lancar dan damai, serta tentu saja jujur.
Dalam agenda politik lima tahunan ini, tugas Pers adalah mmendidik masyarakat memahami tahapan pilkada dan mendewasakan mereka untuk berpikir rasional dan tidak mudah terprovokasi, terutama terkait berita bohong atau hoax.
Untuk menjalankan fungsinya secara lurus, maka syarat pekerja Pers atau wartawan harus netral, demikian juga dengan pemimpin atau pemilik lembaga Pers (Media). Jika wartawan, pemimpin atau pemilik lembaga Pers memihak salah satu kontestan dalam pilkada, maka dikhawatirkan tidak akan bisa memberikan porsi yang sama terhadap kontestan lainnya.
Media dan wartawan yang independen akan potensial menjalankan fungsi edukasi, yakni mendidik para pemilih menjadi dewasa dalam menyikapi informasi yang berseliweran di masyarakat.
Hal yang perlu selalu diingatkan oleh media terkait pilkada adalah, agar masyarakat waspada terhadap Informasi- informasi yang berpotensi mengandung kebohongan atau hoax.
Pers harus selalu mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terpancing dengan informasi sepihak, yang isinya menjelek-jelekkan calon tertentu. Dengan tidak mudah langsung percaya, maka masyarakat juga tidak akan mudah menyebar kembali informasi hoax tersebut kepada orang lain.
Masyarakat harus selalu diingatkan bahwa satu informasi salah yang disebarkan oleh satu orang, berpotensi merusak keutuhan bangsa yang sudah diperjuangkan dengan penuh pengorbanan oleh para pendiri bangsa.
Apalagi, penetrasi media sosial yang kini marak dan mudah menyeruak ke ruang-ruang pribadi warga, berita hoax juga sangat mudah mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat.
Pers bertugas untuk mengajak masyarakat untuk selalu melakukan cek ulang terhadap setiap informasi yang diterima.
Sikap dasar wartawan terhadap segala isu adalah mendahulukan pikiran ragu, dan sanksi mengenai kebenaran informasi, agar juga perlu diterapkan oleh masyarakat. Sebagai mana tugas wartawan untuk menginformasikan fakta yang diterima, sehingga teryakini betul kebenarannya, maka tugas warga kurang lebih sama.
Kalau warga kini mengambil peran sebagai “Wartawan”, saat menyebar informasi lewat media sosial, maka pola dan cara kerja wartawan juga selayaknya menjadi pegangan warga media sosial yang dikenal sebagai nitizen.
Setiap menemukan informasi yang berpotensi menimbulkan polemik, dan permusuhan satu pihak dengan pihak lainnya, maka pilihan dalam pikiran warga adalah mencerna betul informasi tersebut, kemudian mencari informasi lain, termasuk informasi mengenai berita hoax yang sudah disediakan oleh pemerintah (Kominfo) dan bisa secara terbuka diakses oleh masyarakat.
Sementara itu, Pers bisa memberikan Rambu-rambu mengenai informasi yang patut diwaspadai sebagai hoax, seperti menjelek-jelekkan calon tertentu dengan informasi tertentu.
Hal lain yang perlu disampaikan media kepada masyarakat adalah agar berhati-hati dengan narasi tertentu yang mendompleng ajaran agama untuk menyudutkan pihak lain.
Masyarakat perlu terus dijaga kedewasaan berpikirnya oleh Pers, sehingga tidak terjebak pada sikap terlalu percaya pada informasi di media sosial yang berbeda dengan informasi di media Pers.
Isu yang disajikan oleh media sosial baru berstatus sebagai informasi dan belum bisa dikategorikan sebagai berita. Karena itu menjadi tugas wartawan untuk mengklarifikasi informasi yang akan diterbitkan di medianya sebagai berita.
Pers harus menjadikan diri (media) sebagai rujukan akurat bagi masyarakat yang mungkin bingung dengan informasi yang muncul silih berganti di media sosial. Pers bukan hanya tidak boleh membiarkan masyarakat bingung dalam ombang ambing informasi di media sosial yang hanya sesuai dengan kehendak pembuat serta penyebar informasi, tanpa fakta pengimbang, tapi juga harus tegas memilih informasi untuk bahan berita, dengan mengedepankan konfirmasi.
Sebelum menjadi pemandu bagi pembaca, media, dalam hal ini wartawan dan management media, harus selesai dengan dirinya untuk tidak memihak atau partisan.
Jika insan Pers tidak mampu untuk berdiri ditengah alias tidak partisan, sebaiknya tidak membiarkan dirinya bertahan diranah media. Sebaiknya wartawan seperti itu memilih keluar dari profesi mulia ini, dan masuk ke partai politik atau menjadi bagian dari pendukung salah satu calon tertentu.
Pilihan tegas pada diri insan Pers ini adalah sikap yang Fair dan kesatria sehingga tidak melukai hati dan marwah jurnalistik yang memang harus berdiri untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan kelompok yang sifatnya sesaat.
Profesi jurnalis mengemban tugas mulia, untuk selalu menyampaikan pesan kebenaran dan kebajikan bagi Ummat, dalam hal ini adalah pembaca, semuanya berujung pada kepentingan bersama bangsa ini untuk selalu rukun, damai dan sejahtera.
Penulis : Pinnur Selalau.
Editor : Melly Apriliani.