Cara Pejabat Menyimpan Uang Haram Tidak Terdeteksi PPATK

waktu baca 4 menit
Sabtu, 13 Des 2025 21:39 1 Admin RCN

RadarCyberNusantara.Id | Kalau ngimpan 100 juta bawah kasur pun bisa. Ini duit haram berkoper-koper gimana nyimpannya? Cara menyimpan uang hasil merampok uang rakyat dalam jumlah besar butuh skill, seni, dan kejeniusan agar tak terdeteksi PPATK maupun KPK. Kita tuntaskan soal cara menyimpan hasil komitmen fee pejabat sambil seruput Koptagul, wak!

Iklan

“Eh..kelupaan. Selamat malam minggu untuk semua followers saya. I love you, emuah!”

Di siang hari, para pejabat kita tampil sebagai kapitalis tulen. Pidato soal investasi, efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan grafik yang katanya selalu menanjak seperti iman menjelang pemilu. Tapi begitu malam turun dan komitmen fee proyek 10–20 persen dari kontraktor triliunan mulai cair, kapitalisme langsung dilipat rapi. Komunisme dikeluarkan dari laci. Anti-bank, anti-transparansi, anti-negara. Dari invisible hand Adam Smith, mendadak pindah ke tangan gemetar Karl Marx.

Di titik inilah muncul keyakinan besar nan berbahaya, menyimpan uang haram itu perlu teknik dan seni tingkat tinggi. Bukan sekadar sembunyi-sembunyi, tapi komposisi artistik antara rasa takut, keserakahan, dan kepercayaan diri palsu. Bagi yang merasa sudah “pro”, uang diyakini nyaris mustahil terdeteksi PPATK atau KPK. Mereka merasa skemanya canggih, jejaknya halus, dan nasibnya kebal. Sementara bagi para pemula, yang baru kenal koper, kardus, emas, atau wallet kripto, biasanya cerita pendek. Tertangkap basah, wajah pucat, dan mendadak rajin mengutip ayat penyesalan. Ironisnya, sejarah menunjukkan, yang disebut “pro” itu sering cuma belum kena giliran.

Kita mulai dari fase komunisme primitif, fase paling purba, uang tunai di rumah. Contoh nyata, bukan dongeng OTT. Hakim Ali Muhtarom menyimpan sekitar 360.000 dolar AS atau Rp 5,5 miliar dalam koper hitam, diselipkan di bawah tempat tidur rumah kampungnya di Jepara, Jawa Tengah. Dibungkus karung goni, jauh dari Jakarta, seolah desa adalah zona bebas dosa. April 2025, Kejaksaan Agung datang. Awalnya nihil, lalu tekanan bekerja, keluarga menunjuk lokasi. Tamat. Seni tingkat kasur ini mungkin terasa jenius bagi pemula, tapi bagi negara, itu cuma latihan pemanasan.

Gaya ini menular. Kardus, plafon, lemari berubah fungsi menjadi bank rakyat versi gelap. Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya disita ratusan juta rupiah plus 850 gram emas batangan. Gubernur Riau menyimpan mata uang asing di kardus. Kapitalisme menghasilkan miliaran, komunisme menyimpannya seperti logistik gerilya. Hasilnya sama, rumah pejabat berubah jadi gudang barang bukti. Kaya raya, tapi hidup seperti buruh ilegal di negeri sendiri.

Naik level ke fase kapitalisme logam mulia, emas. Di sini para “seniman” merasa sudah naik kelas. Fee proyek dikonversi ke emas, stabil, elegan, tahan inflasi. Data kembali bicara. Eks Dirut Taspen disita Rp 2,5 miliar uang tunai plus 150 gram emas. Ada pula kasus korupsi emas 3,5 ton yang merugikan negara sekitar Rp 189 triliun, sampai Mahfud MD geleng-geleng kepala. Zarof Ricar, eks pejabat Mahkamah Agung, menyimpan 51 kilogram emas plus sekitar Rp 920 miliar uang tunai di rumah. Ini kapitalisme yang disembunyikan dengan mental komunis, ditimbun, tidak dicatat, tidak dilaporkan. Begitu aparat datang, emas berubah dari safe haven menjadi safe prison.

Sebagai pembanding manis-manis, di luar dunia ini ada kisah legal dan terang, pernikahan Erra Fazira, mantan istri Engku Emran, dengan mahar pohon emas 102 gram senilai Rp 812 juta. Sama-sama emas, tapi nasibnya beda alam. Yang satu dipamerkan sah di pelaminan, disorot kamera. Yang lain disembunyikan di brankas, ditunggu penyidik. Seni uang haram selalu iri pada cahaya.

Merasa fisik terlalu berisiko, para “pro player” beralih ke kapitalisme digital revolusioner, crypto. Di sini mereka merasa jadi libertarian sejati. Negara musuh, bank penindas, regulasi dianggap tirani. Bitcoin, USDT, NFT dipuja sebagai jalan ninja elite. Tapi seni tingkat tinggi ini pun sering cacat. Desember 2025, polisi membongkar jaringan mixer kripto seperti CryptoMixer dengan sitaan sekitar Rp 3 triliun. UNODC memperkirakan aliran dana ilegal berbasis kripto di Asia melampaui Rp 500 triliun. Blockchain yang dikira gelap justru lebih jujur dari notulen rapat DPR, semua tercatat abadi.

Akhirnya kita sampai pada kesimpulan pahit nan lucu. Menyimpan uang haram memang dianggap seni tingkat tinggi. Tapi ini seni tanpa wisuda. Tidak ada sertifikat “lulus dari PPATK”, tidak ada pensiun terhormat dari KPK. Pemula tumbang cepat, yang merasa profesional hanya menunda waktu. Cepat atau lambat, semua seniman uang haram akan dipanggil naik panggung, bukan untuk pamer karya, tapi untuk dibacakan dakwaan. Ideologi boleh kapitalis atau komunis, wak. Nasib uang kotor selalu satu, ketahuan. Kata ustaz kampung, kalau tak ketahuan di dunia, pasti ketahuan di akhirat.

“Susah juga nyimpan uang haram ya, Bang.”

“Ingat pepatah nekwan, ilmu akan menjagamu, sedangkan harta, kamulah yang harus menjaganya, wak”

Foto Ai hanya ilustrasi

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Dapatkan Berita Pilihan Di Whatsapp Untuk Anda.

 

X
error: Content is protected !!